Namaku Samani, sembilan tahun anak suku Baduy dalam. Aku dilahirkan dalam keluarga yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai adat istiadat suku setempat, Baduy. Begitu juga dengan ayahku. Ayahku sangat menjunjung tinggi nilai adat istiadat suku di daerahku, mulai dari keseharian menggunakan pakaian adat, bertani, hingga tidak mengenyamnya bangku sekolah.
Suatu hari aku beranikan diri bicara pada ayahku saat makan siang dirumah bersama Ibu dan adik perempuanku. Ya ! aku ingin sekolah. Ingin merasakan bagaimana berkenalan dengan alfabeta, dan tingkatan angka-angka yang sering aku ucapkan sehari-hari. Sayang..ayah melarangku untuk sekolah, dengan alasan "aku takut pintar!". Ayah sangat khawatir kalau nanti jika aku belajar secara formal, lantas aku tumbuh menjadi anak pintar, aku akan membodohi orang-orang termasuk keluargaku juga kelak aku akan merusak alam-alam Tuhan yang semestinya tetap apik dan terjaga sampai akhir dunia yang datang untuk benar-benar merusaknya hingga luluh lantah. Akupun mengubur dalam-dalam niatku untuk bersekolah.
Keesokan hari dan setiap harinya, ayah mengajakku untuk bertani. Mencabut rumput di pepadian, menebang kekayuan untuk bahan bakar, dan kegiatan alam lainnya.
Dalam alam aku menerima petuah dari ayah. Dia berkata, kalau selama ini aku sedang belajar, inilah cara belajar orang-orang suku Baduy, mengandalkan alam sebagai mediator praktisi. Ini yang namanya belajar, bertani dengan alam tanpa bantuan manusia sebagai tenaga pengajar.
Ku pendam dalam-dalam keinginanku untuk belajar. Ayah rupanya benar-benar sangat tidak setuju jika aku menerima pendidikan formal layaknya anak-anak pada umumnya, lantas tumbuh pintar, tidak primitif dan melupakan adat nenek moyang. Namun, ketika suatu ketika aku menuju perjalanan pulang dari tugasku belajar dengan alam (mencari kayu bakar), dari arah berlawanan aku melihat sekelompok anak seusiaku berseragam yang tak seragam berjalan berbalik arah menuju tempat aku sebelumnya. Hatiku seperti terpanggil untuk mengikuti langkah mereka..memutar arah langkah kaki dengan memanggul kayu bakar sebagai buku pelajaranku.
Mataku melihat ke arah bangunan yang dipagari oleh bambu sedada yang didalamnya terdapat anak-anak yang tadi aku ikuti sedang serius mengikuti apa yang gurunya katakan didepan. Oh mungkin ini yang dinamakan pelajaran mengeja dan membaca.
Perlahan ku lalui pagar bambu sedada tadi, ku simpan kayu bakarku disamping pagar masuk, lalu ku bersihkan kakiku yang teramat kotor oleh tanah merah sdengan sehelai kain keset, dan memberanikan diri masuk kedalam ruangan tempat mereka berada, ternyata namanya "kelas". Aku bicara empat mata dengan guru berjilbab itu didepan anak-anak yang sedang diajarnya, "aku ingin belajar selepas aku menyimpan kayu bakar ke rumahku, tetapi tidak memakai seragam, melainkan menggunakan pakaian adat Baduyku". Dengan senang hati guru berjilbab sebaya Ibuku itupun mengizinkan ku untuk bergabung menimba ilmu disana dengan menggunaka pakaian adat Baduy, yah..meski aku diejek oleh teman-teman disekolah karena terlihat sangat berbeda pakaiannya.
Aku kini sadar, pendidikan adalah panggilan jiwaku. Sedalam-dalamnya aku berusaha untuk mengubur hasrat belajarku, semakin besar juga dorongan yang datang padaku untuk benar-benar ingin mencicipi apa itu yang disebut orang pintar, meski harus diam-diam dari ayah. Namun adat?? Aku berjanji, kalau aku pintar aku tidak akan membodohi semua orang lantas merusak alamku sesuai dengan larangan adat baduy, suku ku. Ini murni karena aku Samani ingin mencoba menjadi orang pintar yang mengenal alfabet dan angka-angka, bukan hanya mengerti ilmu tani dengan didikan alam. Sekarang..aku sangat menikmati menjadi siswa sekolah dasar kelas satu, semoga aku bisa menjadi orang pintar yang tetap menjunjung tinggi nilai-nilai adat Baduy.
Samani
" By : Rianne Rahayu_07 Juli 2010 "
Untuk Samani, anak Baduy..
IQ, EQ n ESQ
BalasHapusthe key of successful education
gud bisa jadi inspirasi buat yg males-malesan sekolahnyah :-)