Jumat, 13 Juli 2012

MIMPI


MIMPI
Sedari kecil selalu diberi pengertian bahwa mimpi adalah bunga tidur. Cukup! Hanya sebuah bunga tidur. Semakin besar semakin ingin tahu apa itu mimpi? Tentunya bukan hanya sekedar jawaban “bunga tidur” yang aku inginkan.
Sempat mempertanyakan tentang mimpi ke sebuah ustadz guru mengajiku, pencerahan! Katanya terdapat dua kategori mimpi. Mimpi yang datangnya dari setan, dan mimpi pertanda. Mimpi yang datangnya dari setan adalah mimpi yang kita alami hanya satu kali alur cerita, datangnya setelah waktu subuh dan waktu sore hari saat kita tidur siang, dan mimpi pertanda adalah mimpi yang berkali-kali dengan alur yang nyaris sama atau objek yang selalu sama, misalnya si X yang selama beberapa hari selalu hadir dalam mimpi kita meski cerita dalam mimpinya selalu berbeda. Itu yang sering aku alami dalam kurun waktu satu minggu ini.
Seorang pria yang sering ku lihat selama kurang lebih empat tahun di kampus tidak pernah absen sekalipun dalam mimpi setiap tidurku dalam seminggu ini. Namanya Arca, terakhir bertemu saat wisuda satu bulan lalu. Selama empat tahun berteman, tak sedikitpun berteman rapat. Intensitas kami berteman hanya sebatas kawan senat saja, setelah itu tidak pernah ada komunikasi berlebih selama bersama dalam satu payung organisasi universitas. Sempat bertukar pin blackberry saat wisuda bulan lalu, itupun tak pernah sedikitpun komunikasi yang menyengaja, kecuali memang ada perlu yang mendesak.
Malam satu, hari Minggu Arca tiba-tiba hadir dalam mimpi tanpa disengaja. Dalam mimpinya kami berdua sedang makan siang bersama di kantin fakultas, saling berhadapan dan sedikit sanda gurau ringan. Adzan subuh menyelesaikan mimpi malam itu. Terasa pelik saat bangun tidur lepas subuh.
“ Kenapa tiba-tiba aku mimpi Arca yah? ”
Berfikir masa bodoh tentang mimpi semalam, karena aku yakin itu hanya bunga mimpi tanpa isyarat. Masuk malam dua, senin malam. Sama sekali tidak memikirkan Arca sesaat sebelum tidur, bahkan otak rasa sudah cukup penat dengan sisa lembur yang masih menyisa hingga malam hari detik-detik mata terpejam. Mimpi dimulai, Arca datang kembali..kali ini alurnya berbeda. Aku melihat Arca disebuah restoran Jepang, dia bekerja sebagai waiter disana merangkap greeter (seorang yang menyambut tamu)
“ Irasaimaseeee!! ”
Arca menyambutku masuk seorang diri di daun pintu masuk restoran, lantas mengantarku ke meja kosong. Arca nampak masih mengenaliku baik, menanyakan kabar untuk basa basi sampai akhirnya makanan tiba, percakapan terhenti sementara. Dalam mimpi, ketika aku akan membayar makanan yang aku pesan, nampak Arca dibalik counter sedang memegang ponsel siaga kamera.
“ Ngapain, Ca? “
“ Aku mau foto kamu “
Dalam alur ceritanya, aku menutup muka tanda kurang setuju untuk difoto, namun ada yang janggal disini..aku malah mengajak Arca untuk foto bersama ditangga penghubung ke lantai dua.
“ Kalo mau, foto bareng aja..gak usah motoin aku gitu..ditangga yuk? “
Kamipun berfoto berdua, nampak rapat seperti sepasang dengan hubungan istimewa. Mimpi kedua selesai, adzan subuh memutuskan alur cerita malam itu. Semakin merasa aneh, namun berusaha untuk tidak memikirkan mimpi yang lebih dari dua kali hadir berurutan.
Malam tiga, Selasa. Sebelum tidur, aku menonton FTV remaja yang disiarkan di salah satu stasiun televisi swasta karena santainya waktu tanpa harus melembur pekerjaan sebelum tidur. Ya! FTV tersebut mengantarkan aku terlelap membuka mimpi baru. Alur baru, dengan orang yang sama..Arca kembali mengisi mimpi malam ketiga. Malam itu ceritanya kami ada dalam rumah yang sama, memasak mie instant bersama untuk kami berdua, menikmati makanan instant tersebut sembari menonton acara komedi di televisi. Entah apa maksudnya, dalam mimpi tersebut kami nampak sangat akrab, seperti pasangan muda baru yang masih menikmati waktu lajang tanpa ramainya anak-anak. Mimpi itu usai dengan sendirinya, bukan dengan adzan subuh, tapi menyengaja membuka mata untuk menyempatkan tahajud.
Ya Allah..kalau memang apa yang aku dengar dari ustadz ku dulu itu mengenai mimpi yang berulang itu benar..tunjukkan pertanda apa yang ingin Kau berikan untuk hamba secepatnya, amien
Seselasainya tahajud, aku sempat tertidur sampai waktu subuh membangunkan. Ajaibnya, dalam waktu singkat tersebutpun aku masih menyempatkan diri untuk bermimpi, Arca kembali. Kali ini mimpinya sangat singkat, mungkin kalau film hanya ada satu sceen saja, kami duduk di taman bersebelahan, lantas saling menatap lalu tersenyum, mimpi selesai. Subuh aku jalani dengan raut bingung.
Malam empat, Rabu. Kegiatan serupa dengan malam satu, sebelum memutuskan untuk tidur, aku menyempatkan diri untuk menyelesaikan pekerjaanku untuk esok pagi, sama sekali tidak terfikir Arca saat menjelang tidur, dan mimpipun dimulai. Dalam mimpi malam itu, Arca berada bersama atasanku di kantor, memakai seragam kantorku seolah dia memang karyawan yang sama denganku. Dalam mimpinya, aku habis masa kerja dan akan pamit pulang pada atasan yang saat itu berada bersama Arca diruangannya.
“ Gak cipika cipiki dulu sama aku? “
Wajahku mendadak pucat pasi ketika Arca berkata seperti itu, ditambah reaksi atasanku yang tertawa ringan nada meledek. Anehnya, aku hampiri Arca lantas mencium kedua pipinya. Cerita tak habis sampai disitu, ketika aku beranjak pamit, Arca menaham tanganku, menarikku untuk mendekat lalu mengecup kening dan bibirku.
“ Hati-hati ya “
Aku terbangun, dan bukan oleh adzan subuh lagi. Keringat dingin mengantarkan waktu pada pukul empat dini hari, aku putuskan untuk mengambil wudhu, menyempatkan tahajud sambil menunggu waktu subuh tiba.
Hari kelima, Kamis. Sebelum malam tiba dan mengantarkanku untuk istirahat, aku menyengaja untuk cek bbm milik Arca yang nampak kurang menunjukkan aktivitasnya di bbm, sesekali aku dapati ia mengganti fotonya tanpa menulis personal message, hanya status Sibuk yang setiap saat aku lihat, yah..sesekali personal message nya terisi oleh beberapa kata entah itu “mengantuk”, hanya emotic senyum atau bahkan kata yang mendeskripsikan bahwa ia sedang bekerja. Tidak ada yang aneh, tidak ada basa-basi, dan tidak ada komunikasi. Malam lima pun tiba, luangnya waktu sebelum istirahat membuat aku ingin menulis beberapa kalimat berhastag #mimpi dalam twitterku.
Twit 1 : Kata ustadzku, mimpi terbagi 2, ada yang datangnya dari setan (hanya sekali mimpi) dan ada yang merupakan pertanda (mimpinya berkali-kali)
Twit 2 : Dalam #mimpi, aku mencium pipi kanan kirimu, tapi kamu membalas mencium keningku dan mengecup bibirku saat aku pamit pulang, maksudnya?
Twit 3 : Apa maksud #mimpi hampir seminggu ini?kamu selalu hadir buat alur cerita, tanpa aku perintah. Padahal aku gak mernah mikirin kamu loh!
Twit 4  : Malam ini aku mencoba memikirkan kamu, biar kamu gak hadir jadi pertanda yang masih tanda tanya sampai malam ini. Selamat malam.
Yah..seperti apa yang aku tulis dalam twitter terakhir, malam kelima ini aku mencoba menyengaja memikirkan Arca. Mencoba membuat perbandingan dengan malam-malam sebelumnya yang tidak tersirat sedikitpun untuk memikirkan Arca sebelum tidur, yang kenyataannya malah selalu hadir setiap malam dalam mimpiku. Apa yang terjadi kalau aku memikirkan Arca malam ini? Aku akan tarik kesimpulan, kalau memang Arca masih ada dalam mimpi malam kelima ini, berarti itu sebuah pertanda, kalau tidak hadir aku simpulkan itu hanya sekedar mimpi kiriman setan saja.
Pagi datang, namun mimpi tak kunjung datang. Maksudnya apa? Malam kelima, disaat aku menyengaja memikirkan Arca sebelum tidur, ia malah tidak hadir dalam mimpi. Jangankan hadir dalam mimpi, bahkan bermimpipun aku rasa tidak.
Malam enam, Jumat. Aku cek kembali bbm Arca sengaja, aku simpulkan bahwa ia sedang sakit, nampak dari display picture dan personal message yang ia pasang hari itu.
“ Arca..lagi sakit yah? “
“ Ia.. L
“ Get well soon J
“ Thank you yah J
Selesai. Mati gaya dan habis akal untuk basa basi. Baiklah, bergegas tidur dan menyulam mimpi (kalau bermimpi). Malam enam, entah mungkin karena sebelumnya sempat komunikasi dengan Arca atau apalah..seingatku mimpi malam keenam yang aku ingat Arca memanggilku untuk datang kerumahnya. Arca mengirim chat lewat bbm, dia menyuruhku datang ke rumahnya untuk membantunya yang sedang sakit. Dalam mimpinya, ia tinggal seorang diri, tanpa orangtua atau bahkan adik kakak yang aku tidak pernah mengetahuinya. Mimpi selesai dipagi ketujuh, aku memutuskan untuk berkomunikasi kembali dengan Arca, membahas mimpi terakhir di malam enam. Mimpi yang menurutku sebuah kode kalau Arca yang entah dimana tempat tinggalnya sedang membutuhkan bantuan.
Benar ternyata, Arca sedang tergolek lemah di rumahnya seorang diri. Aku menyambangi rumah Arca yang ternyata hanya berbeda beberapa blok dari kosanku, baru tahu. Arca terjangkit demam berdarah, dia bilang sudah dua hari masuk tiga ia lemah tak bergerak namun kurasa sudah lebih dari itu, tak ada sedikitpun niatan  ke rumah sakit meski sempat aku tawari, padahal untuk makanpun merangkak mencari seadanya, ingin meminta bantuanpun tak tahu pada siapa. Ayah ibu tak kunjung bangkit untuk bernafas, kakak adik tak punya, sebatang kara gelarnya.
“ Thanks ya..udah mau bantu urusin aku “
“ It’s ok, Arca. Aku pulang dulu..kalo ada apa-apa, bbm aku aja yah J
Arca menggenggam tanganku, sama percis seperti adegan dalam salah satu mimpiku kemarin, yang beda aku tidak mencium pipi Arca begitupun adegan Arca terhadapku, tidak sama sekali terjadi. Arca hanya menatapku dalam bisu, sampai perkataan pamitku membangunkan tatapannya.
Ini malam ke tujuh, malam dimana siangnya aku benar-benar bertemu Arca dan berkomunikasi seadanya. Aku bukan seorang yang mahir menafsir mimpi, dari semua mimpiku selama enam hari hingga aku bertemu Arca, belum sepenuhnya tertafsir apa sebetulnya arti dari mimpi-mimpiku seminggu ini. Esok libur kerja, akankah mimpiku ikut mengambil cuti malam hari ini?
Sebelum tidur, aku sempatkan memeriksa recent update bbmku. Pukul 23:23 kurang lebih, Arca mengganti fotonya dengan foto ia sendiri yang belum pernah aku lihat sebelumnya, jauh lebih tampan dari Arca yang pernah aku lihat, dengan status bertulisan “ thanks J “.
Rasa heran berkecamuk dalam dada sesak ini, Arca datang mengetuk pintu kamar kosanku. Dia nampak sudah kuat berjalan, namun sedikit muka pucat. Ini pertama kalinya Arca menyambangi kosanku setelah empat tahun lebih kami saling tahu di kampus.
“ Udah sehat? “
Arca tak menjawab, ia hanya tersenyum. Aku tawari minum, ia hanya menggeleng sembari tak lepas tersenyum melihatku sedari tadi. Aku mencoba mengalihkan tatapanku terhadap Arca pada televisi yang sedari tadi ikut meramaikan sunyinya Arca. Arca yang sedari datang duduk disampingku, mencium pipiku lembut dan dingin, lalu melepasnya dalam hitungan beberapa detik.
“ Aku sayang kamu “
Arca mengatakan hal tersebut lantas pamit pulang, sedang aku masih tertagun heran tak berkata apa-apa. Allahuakbar Allaaaahuakbar!! Ah! Suara adzan membangunkanku. Ternyata adegan barusan hanya mimpi, yang ini paling nampak nyata dari mimpi-mimpi sebelumnya. Selepas subuh, aku mengirim bbm pada Arca, Arca tak menjawab, mungkin masih tertidur pulas.
Pagi itu aku berniat untuk mengontrol bagaimana kondisi Arca hari ini, bubur beserta makanan lainnyapun sudah aku siapkan untuk Arca. Setibanya aku dirumah Arca, tak sedikitpun nampak satu kehidupan. Oh mungkin Arca masih tertidur, dan benar saat aku berjalan menuju kamar tidurnya, Arca masih tertidur pulas sembari memeluk sebuah buku dan tasbih, hei..itu buku diary.
Aku sentuh tangan Arca, bermaksud untuk membangunkan ia yang masih terlelap tidur. Janggal, Arca terasa dingin, ya..sekujur tubuhnya dingin pasi. Aku goyangkan badan Arca, Arca tak kunjung bangun sedang aku panik sendiri dan tak sedikitpun mencoba mencari bantuan orang lain. Aku coba untuk dekatkan telunjukku pada hidung Arca, memastikan bahwa ia masih bernafas atau tidak, memegang nadi pergelangannya dan semua nihil. Arca sudah tak bernafas lagi, ia meninggal tanpa memakan apapun yang sempat aku simpan di meja samping tempat tidurnya.
Semua nampak hambar, ingin menangispun tak tahu. Entah angin apa yang membuatku tergerak untuk membaca isi diary Arca, toh meskipun sifatnya sangat privasi yang punyanya tidak akan marah karna sudah tak bernafas lagi. Mulutku menganga, butir sajak berbentuk cairan jatuh perlahan dari ujung pelupuk mataku. Diary itu..semua menceritakanku. Aku baca perlahan kata demi kata, kalimat hingga halaman, bahkan terdapat beberapa fotoku disitu sedari jaman kuliah hingga aku sekarang. Aku tak tahu menau mengenai diary dan semua isi-isinya, termasuk seluruh skenario yang Arca tulis setiap lembarnya tentangku, yang pasti dan tanpa aku sadar..apa yang aku mimpikan selama seminggu ini merupakan skenario yang Arca rancang salam diarynya.
Aku selalu membayangkan kita menikmati makan siang dikantin bersama selagi kita kuliah dulu. Aku selalu membayangkan kamu hadir ke restoran tempatku bekerja untuk sekedar menyantap snack ringan ala Jepang. Aku selalu membayangkan dapat mengabadikan gambar denganmu bagaimanapun itu posenya dimanapun itu tempatnya. Aku selalu membayangkan kita dapat tinggal satu rumah, bersanda gurai sambil menikmati acara televisi bersama di sofa ruang TV. Aku selalu membayangkan menghabiskan waktu berdua menikmati hijaunya taman dengan warna warni bunga. Aku selalu membayangkan dapat mencium keningmu dipagi saat pertama kamu mulai membuka mata. Aku selalu membayangkan kamu dapat mencium pipiku disaat aku mulai mengeluh menjalani hidup seorang diri. Aku selalu membayangkan aku dapat puas melihat wajahmu dengan senyuman paling ikhlas yang pernah aku kembangkan untuk seorang hawa. Aku selalu berharap kamu selalu memikirkanku sebagaimana setiap detik aku selalu memikirkanmu. Dan aku selalu berharap kalaupun aku harus mati, aku ingin mati dalam pelukanmu. 7 Juli 2012, 23:23 wib “
Aku melihat tanggal yang terpampang gamblang dalam ponselku, hari ini tanggal 8 Juli 2012, itu artinya tulisan yang aku baca telah Arca tulis semalam. Tepat semalam saat aku bermimpi Arca tersenyum menghampiriku lantas mencium pipiku tanda pamit.
Sehari itu aku sibuk mengurus pemakaman Arca bersama tetangga sekitar rumah Arca. Tak satupun dari keluarga Arca datang, karna memang tak ada satupun yang mengetahui kebedaraan keluarga Arca yang notabennya bukan orang asli Indonesia, namun Italy.
Seusainya pemakaman Arca, aku kembali ke kosanku, membawa buku diary Arca yang belum sempat aku baca semua halaman awalnya.
Ini hari minggu, hari kedelapan yang tepat bersama hari kesatu dimana aku mulai bermimpi tentang Arca. Melalui bukunya dihari ke delapan aku menafsir semua mimpi-mimpiku selama seminggu terakhir, mengaitkan dengan semua cerita yang terpampang jelas dalam diary Arca, hingga dapat disumpulkan bahwa selama ini Arca diam-diam menyukaiku. Belum sempat ku tutup diary Arca, aku terkantuk lantas tertidur. Arca menghampiriku lewat mimpi dihari kedelapan, tersenyum lebar seperti mimpi malam sebelumnya. Arca terlihat jauh lebih tampan dari foto yang ia pasang terakhir kali di bbmnya. Di daun pintu kamarku Arca berdiri tegak, tersenyum dan memberikan diarynya padaku, berterima kasih lantas pergi menghilang lembut.
Aku terbangun, ku lihat ponselku sudah pukul tiga dini hari. Akupun bergegas mengambil air wudhu dan bersembah dua rakaat pada Sang Khalik. Selepas salam, aku memanjat doa setinggi-tingginya untuk kematian Arca, sedikit seperti berdialog dengan Arca pada akhir doa.
“ Terima kasih Arca untuk cintamu yang tak pernah aku tahu hingga ajal menjemputmu. Terima kasih atas mimpi-mimpi yang tak sempat aku tafsir lebih cepat dari apa yang sudah terjadi sekarang. Terima kasih untuk skenario yang kamu tulis dalam diarymu. Semua nyata dalam mimpiku seminggu terakhir ini. Ceritamu aku tutup malam ini. Aku yakin tidak akan ada lagi mimpi-mimpi yang singgah di malam-malamku selanjutnya, karena kamu sudah berhenti menulis apa yang ingin kamu hadirkan dalam setiap mimpi-mimpiku. Terima kasih Arca, sampai jumpa. Semoga kita bertemu kembali di dunia yang jauh lebih kekal, agar kamu dapat terus menulis skenario untuk semua mimpi-mimpiku kelak “
Tepat di hari kesembilan, Senin hingga kini tepat satu tahun kematian Arca, Arca tidak pernah hadir dalam mimpi-mimpi yang terangkai tak beraturan dalam tidurku. Selamat jalan Arca, diarymu aku simpan baik-baik sebagai bukti kalau di dunia ini terdapat orang yang sudah merangkai mimpiku dalam sebuah tulisan manis dalam buku hariannya.
SELESAI**

Senin, 02 Juli 2012

JODOH


Banyak orang bilang, masa SMA adalah masa yang paling sulit untuk dibuang momennya begitu saja, karena untuk kebanyakan orang masa-masa itulah masa yang disebut dengan kesempatan untuk mulai jatuh cinta.
Alex merupakan pria yang sulit untuk jatuh cinta, bahkan sebagian teman-temannya sering meledek Alex sebagai pria ‘tidak normal’, karena setiap ada beberapa wanita disekeliling yang berusaha menarik perhatian Alex, Alex selalu menunjukan respon yang biasa-biasa saja, hingga saat tingkat akhir sekolahnya, Alex mengalami apa yang belum pernah ia alami sebelumnya. Lexi seorang wanita pindahan, satu tingkat lebih muda dari Alex berhasil mencuri perhatian Alex. Dia cantik, dandanan natural tidak neko-neko seperti sesiapa yang sempat berusaha menarik perhatian Alex sebelum-sebelumnya. Satu waktu, Alex memperhatikan Lexi dipelataran kantin, sedang mencoba dirayu oleh teman-teman seangkatan Alex, namun apa yang Alex lihat, Lexi hanya tersenyum lalu pergi sembari meneguk air mineral yang dia beli dikantin. Oh! Lexi gemar bermain basket rupanya.
Terbayangkan, bagaimana sosok seorang Lexi. Wanita natural tanpa make-up, gemar bermain basket, cantik, dan Alex baru tahu kalau Lexi juga ternyata gemar dalam dunia fotografi. Sekali waktu Alex sempat memergoki Lexi sedang asyik memperhatikan objek yang akan ia bidik dalam lensanya.

“Sendirian aja non?”
“Ia. Siapa ya?”
“Aku Alex, kakak kelas kamu”
“Oh..sori kak gak tau. Aku Lexi”

Lexi adalah tipikal wanita yang cuek dan apa adanya. Pertemuan pertama kami saat itu sudah dapat mendeskripsikan bagaimana Lexi sebenarnya, ternyata asyik! Dapat mengimbangi Alex yang sebetulnya berkarakter “rame” dan blak-blakan. Sedari itulah intensitas sapa menyapa di sekolahpun semakin terasa frontal dimata siswa-siswa lain. Alex yang sama-sama gemar basketpun seringkali bertanding one-to-one dengan Lexi saat sore hari menjelang pulang. Bahkan sedikit demi sedikit Alex mulai menyukai dunia fotografi, karena setiap kali Lexi membahas seputar fotografi, Alex merasa tertarik. Entah tertarik dengan materinya, entah tertarik pada orangnya, entahlah...

Satu waktu, Lexi mengajak Alex untuk menghadiri acara pameran foto di PRJ, lantaran ada satu foto Lexi yang diikutsertakan dalam pameran tersebut. Ada yang menarik sepulangnya dari pameran, Lexi lantas mengajak Alex untuk menikmati sore senja memakan es krim ditempat yang suasananya masih sangat klasik. Disana Lexi menyempatkan diri untuk mengambil gambar yang Alex sendiri tak mengerti apa maksud dan judul dari foto yang Lexi ambil lantas tunjukan pada Alex. Lexi memotret Alex yang sedang menjatuhkan es krimnya yang mencair dari sendok es krim ke dalam gelas es krim dari lubang kecil wafer astor berdiameter sekitar tiga senti. Fotonya nampak seperti teropong yang sedang meneropong Alex yang sedang memainkan es krim yang mencair, bagus sih namun Alex tak mengerti maksud dari foto itu apa.


Lexi sempat memberitahu Alex, bahwa kalau Alex ingin melihat hasil foto yang dihasilkan oleh Lexi, Alex dapat melihatnya dalam galeri devianART yang Lexi miliki. Disana Alex mendapati foto berjudul “teropong ice cream”, yang mana objek dalam foto tererbut adalah Alex. Alex tersenyum, lantas membaca deskripsi dari foto tersebut.

teropong itu ibarat hatiku, bahkan semacam lensa kameraku yang tak kasat mata membidik suatu objek yang sedang mengobrak abrik isi hati yang mulai mencair oleh si pencair hati. Adakah kau tahu?apa maksudku?”

Sungguh fotografi itu multimeaning, seringkali sebuah karyanya menjadi bahan tebak-tebakan seperti inilah maksud Alex, Alex tak pandai secara gamblang mengerti apa maksud dari deskripsi foto Lexi yang baru saja  Alex lihat, tapi jujur deskripsi dan fotonya tadi cukup membuat Alex berfikir saban hari siang malam sampai Alex benar-benar samar mengerti apa maksud dari foto Lexi tersebut, meski masih bersifat hipotesis saja.


Minggu itu Alex tak melihat batang hidung Lexi sedikitpun, rasa konsentrasi yang seharusnya ia curahkan semua untuk Ujian Nasional sedikit terpecah belah oleh wajah Lexi yang sedari pagi mengiangi mata hatinya. Namun, tak lama dari itu konsentrasi Alex sepenuhnya ia curahkan untuk Ujian Nasional, sebab diseberang sana yang entah sedang apa dipagi buta memberi salam semangat singkat.

“Konsentrasi Lex! Biar nilainya memuaskan ! Spirit ! J

Sengaja tak Alex balas pesan lexi saat itu juga, ia berniat untuk meneleponnya selepas ujian hari itu selesai. Hal seperti itu ternyata terjadi selama kurun hari ujian. Lexi tak bosan setiap harinya mengirim text yang serupa pada Alex, dan Alexpun merasa kalau kegiatan barunya ini bukan malah membuatnya bosan namun membuatnya ketergantungan, hingga suatu ketika obrolan mereka tidak hanya seputar semangat menyemangati, fotografi, basket dan sekolah namun sudah berlanjut pada pembahasan pamit-pamitan.

“Lex, aku ke bengkel dulu ya benerin motor. Nanti abis itu aku jemput kamu buat ke toko kamera. Aku kabarin kamu lagi ya kalo udah di bengkel, aku pergi sekarang”

“Ia Alex, hati-hati jangan ngebut”

Masing-masing dari mereka tidak menyadari kedekatan diantara mereka yang semakin intim, terlebih sekarang Alex sudah mulai mencintai dunia fotografi seperti Lexi. Alasan Alex terjun ke hobi fotografi bukan semata-mata karena Lexi, ada maksud lain dibalik itu.

“Aku ingin belajar mendeskripsikan gambar yang seringkali tak mudah untuk aku mengerti dan cerna apa maksud dari gambar tersebut”

“Sama. Akupun begitu. Ayahku seorang jurnalis, dia pintar sekali mendeskripsikan sesuatu. Entah itu dalam bentuk gambar ataupun gerak gerik gaya orang. Dari dia aku mulai menyukai dunia fotografi, meski dia bukan seorang fotografer. Dari dia aku belajar mendeskripsikan sesuatu, bahkan dengan sendirinya terlatih untuk membuat deskripsi baru dari foto-foto baruku”

“My first photo is..when graduation day!”


Sebulan setelah ujian nasional, berita kelulusanpun sampai pada telinga siswa kelas akhir, dan seminggu setelahnya perayaan kelulusanpun diadakan. Momen dimana pertama kalinya Alex ingin mendeskripsikan misteri dibalik suatu gambar, momen dimana Alex dan Lexi mungkin akan semakin jarang melihat satu sama lain seperti sebelumnya saat masih berada dalam satu lingkungan sekolah.

“Kuliah dimana Lex jadinya?ambil jurusan apa?”

“Dimanapun itu yang penting masih bisa menjangkau jarak aku sama kamu Lex. Kemungkinan besar Hubungan Internasional. Aku kepengin kerja di kedutaan besar”

Lexi tersenyum, lalu memberi setangkai mawar putih untuk Alex dipinggiran lapang basket yang tak begitu ramai oleh siswa-siswa lain yang sedang merayakan kelulusan.

“Congratulation Lex. Semoga kamu sukses dengan mimpi kamu buat jadi duta besar negara. Aku bantu doa”

“Thanks bunganya. Aku simpan pasti”


Selulusnya Alex, kehidupan disekolah memang sedikit berubah pada Lexi, tidak ada lagi laki-laki temannya bermain basket, bahkan untuk hunting fotopun seringkali Lexi lakukan sendiri karena kesibukan kuliah Alex yang ternyata jauh lebih sibuk dari apa yang sempat Lexi bayangkan. Terlepas dari itu, komunikasi diantara mereka masih tetap terjalin, meski kadar pertemuan mereka sudah tak sesering dulu. Sampai akhirnya komunikasipun semakin hari semakin memudar. Mulai tidak mengabari satu sama lain, karena kesibukan masing-masing. Alex dengan kesibukannya sebagai mahasiswa baru, sedang Lexi sibuk konsentrasi dengan ujian nasional yang segera dia hadapi dalam waktu dekat ini. Semua konsentrasi seakan melupakan hubungan ‘tak jelas’ antara mereka berdua. Hingga kelulusan Lexi tiba, dengan tiba-tiba Alex datang membalas mawar putih yang sempat Lexi berikan tahun lalu saat kelulusannya.

“Congrats ya Lex. Lulus juga. Pertanyaan yang sama..kuliah dimana Lex jadinya?ambil jurusan apa?”
“Broadcasting. Belum tahu dimana, mungkin diluar Jakarta”

Alex menatap datar Lexi yang sedari tadi nampak setengah melamun. Pikirnya, kalau Lexi sampai kuliah di luar Jakarta, intensitas kedekatan mereka malah semakin menjauh entah sampai kapan tak tahu.

Sejak hari itu, Alex tak pernah melihat batang hidung Lexi lagi hingga tiga tahun terakhir. Bahkan kelulusan sarjananyapun kini didampingi oleh sosok wanita idaman baru bernama Keandra. Mereka sudah menjalin hubungan istimewa sejak satu tahun terakhir, dan akan menikah dalam kurun waktu dua tahun lagi dari tahun kelulusan mereka berdua.

Keandra yang merupakan teman satu kampus Alex ternyata sudah menarik perhatian Alex sejak pertama mereka masuk dunia perkuliahan, namun saat itu dihati Alex masih tersimpan sosok Lexi yang meski hingga detik ini tidak ada kejelasan antara mereka berdua, hingga hilangnya kabar Lexi dari pertemuan kelulusannya dahulu, hati Alex sedikit demi sedikit terbuka untuk Keandra wanita yang jauh lebih anggun dari Lexi, tidak suka basket sama sekali namun masih berkecimpung dalam dunia fotografi sebagai objek gambar, bukan sebagai orang dibalik penangkap objek seperti Lexi.


Baligo besar terpampang dibalik ruang kerja Alex yang berada dilantai lima. Dahinya sedikit menggernyit, teringat Lexi saat melihat dan membaca tulisan dalam baligo tersebut, baligo pameran foto ditempat yang sama ditahun berbeda. Jika beberapa tahun lalu Alex yang belum mengerti bagaimana cara mendeskripsikan gambar secara gamblang, kini sudah dikatakan cukup mahir dalam hal seperti itu. Pekan itu Alex pergi sendiri mengunjungi pameran foto, karena Keandra tidak dapat mendampingi dengan alasan pemotretan yang tidak bisa ditinggal.

Sepanjang lorong gambar, Alex amati secara detail setiap gambar untuk dideskripsikan. Ada satu foto yang menarik perhatian Alex, sebuah mawar putih yang digenggam di dada oleh seorang wanita berwajah kebaratan berpakaian serba hitam sembari menunduk mencium mawar putih tersebut. Gambarnya nampak hitam putih, hanya mawar yang terlihat berwarna sampai hijau batang-batangnya. Alex buka lipatan kertas di bawah foto tersebut, tertulis “Setia-Lexi”. Jantung Alex berdetak tak biasa saat melihat judul foto dan nama fotografer yang tertera dibalik lipatan kertas dibawah foto mawar putih itu.

Alex berfirasat kalau Lexi berada disekitar pameran tersebut, nasib buruk mengelilingi pelosok setempat tak kunjung ditemukan batang hidung Lexi oleh Alex. Rasa gelisah semakin meradang saat tahu kalau Lexi benar-benar tak kunjung menunjukkan sinyal-sinyal keberadaannya. Hatinya merintih mencari Lexi, kerinduan itu melemaskan seluruh organ-organ yang biasanya tegak berdiri.

Sejak hari itu, rasa cinta yang tertuang untuk Keandra terasa hambar. Namun karena faktor keluarga yang sudah semakin hari semakin semangat membicarakan pernikahan mereka, terpaksa Alex harus melawan rasa kegelisahan hatinya terhadap Lexi hingga tiba akhirnya Alex dan Keandra melepas masa lajang mereka, jodoh memang misterius, terkadang tak sepenuhnya sesuai dengan keinginan hati. Alex kini milik Keandra, tanpa Lexi tahu dan entah dia ingin tahu atau tidak dimana Lexipun Alex tak tahu.


Hingga tahun ketiga usia pernikahan Alex dan Keandra, rumah tangga merekapun belum ramai oleh tangisan buah hati dengan alasan Keandra masih ingin fokus pada dunia modelingnya, Alexpun tak mempermasalahkan meski rasa kecewa sempat hadir menyelimuti.

Selain faktor belum dikaruniainya seorang anak, faktor dunia pekerjaan Keandra membuat kicruh rumah tangga mereka secara perlahan. Pergaulan Keandra semakin tidak beres, tidak mengurus Alex dengan sebagaimana mestinya seorang istri pada suaminya. Hingga pada suatu malam Keandra izin pada Alex untuk menghadiri ulangtahun teman satu pekerjaannya di satu clubbing malam, Alex tak memberi izin Keandra untuk pergi malam itu, namun Keandra tetap bersikeras untuk menghadiri acara ulangtahun tersebut. Bukan maksud Alex mendoakan yang tidak-tidak pada istrinya sendiri, namun diperjalanannya Keandra menuju pulang dari acara tersebut, Keandra mengalami kecelakaan yang membuat mobil yang Keandra kemudikan hancur berantakan. Keandra kritis, bukan hanya faktor luka dari kecelakaan saja yang membuatnya sekritis ini, namun sebab lain. Terjadi kerusakan fatal pada paru-paru Keandra, akibat dari perokok berat dan efek alkohol yang membakar paru-paru Keandra secara perlahan. Alex hanya mengelus dada dan terus berdoa untuk kesembuhan sang istri, namun takdir berkata lain seminggu Keandra dinyatakan koma setelah itu menemui jalan titik. Keandra meninggal dunia tanpa meninggalkan sepotong pesan untuk Alex.

Bukan perkara mudah melupakan orang yang sempat mengisi relung hati seorang pria, terlebih lagi statusnya sudah menikah. Kini Alex menjadi seorang duda ditinggal mati lengkap tak beranak. Hidup Alex serasa nyaris terhenti sampai disitu, tapi hidup harus terus berjalan dan pekerjaan harus tetap ditunaikan demi kelangsungan kesempatan yang masih Tuhan berikan padanya.

Empat bulan sudah Keandra pergi meninggalkan Alex, belum ada tanda-tanda untuk menyegera mencari pengganti Keandra dalam hati Alex, meski hatinya sudah benar-benar ikhlas melepas kepergian Keandra. Bulan kelima, Alex mendapat tugas diplomat kunjungan ke kota Paris di lain benua sana selama satu minggu. Tidak ada firasat buruk atau baik yang Alex terima sebelum ia memutuskan untuk pergi ke Paris, yang ia rasakan hanya rasa senang karena dapat sedikit waktu untuk liburan melepas kepenatan otak dalam padatnya ibu kota megapolitan Indonesia. Ada satu, dia membawa buku kecil yang didalamnya tersimpan potongan-potongan mawar putih kering yang sempat Lexi berikan saat kelulusan dulu.


Setibanya Alex di Paris, Alex menunaikan kewajibannya sebagai diplomatik. Hanya satu hari, selebihnya memang terasa liburan. Selama lima hari waktu kosong Alex banyak menghabiskan waktu mengitari seputaran kota Paris. Ada yang menarik, dipelataran menara romantis yang menjuntai itu, nampak kerumunan orang yang sebagiannya Alex mengenali ras-ras dari muka mereka.

“Wah! Ada orang Indonesia nih..lagi pada bikin film. Lihat ah!”

Alex mendekat dalam kerumunan itu, benar ternyata terdapat beberapa orang Indonesia terdapat didalamnya. Ada yang Alex kenali salah satunya, nampak seperti memegang peran sebagai dalang dari film yang sedang proses tersebut.

“Cut!”

“Lexi !”

Spontan air mata Alex jatuh mengiringi senyum bahagia yang tak terduga. Lexi nampak shock dan memasang muka serupa. Tubuh mereka mendekat, aliran darah terasa mengalir deras hingga ubun-ubun, jantung seakan bangun dari mati suri. Getaran itu masing-masing mereka rasakan sampai akhirnya masing-masing dari mereka mempercepat langkah lalu berpeluk rindu dan menangis haru.

“Apa kabar Lex?Kamu kemana aja selama ini?”
“Baik. Aku disini, dipelukan kamu Alex”
“Jangan pergi lagi yah Lexi..”

Adegan yang bukan merupakan penggalan dari skenario film itu pun berlanjut malam hari ditempat yang sama. Alex dan Lexi menghabiskan semalam suntuk di taman pelataran eiffel, bertukar cerita dan progres apa saja yang sudah dan belum mereka capai selama ini, tepatnya selama mereka tidak pernah bertegur sapa bahkan saling berjumpa.

“Jadi selama ini kamu sekolah broadcasting di Paris?lulus dan jadi sutradara disini?”
“Ia Lex. Semua alasan itu sudah terlalu berharga dibanding keputusan untuk kembali ke tanah air”
“Sudah menikah?”
“Belum.”
“Oh. Eh ia, aku sempat melihat satu foto dipameran enam bulan lalu. Foto mawar putih judulnya ‘Setia’, tertanda fotografernya nama kamu, Lex. Itu kamu bukan?”
“Ia. Itu fotoku. Aku menyuruh ayah untuk mengirimkan satu foto karyaku untuk dipamerankan disana, tanpa aku melihatnya langsung. Apa kabar Jakarta?masih seramai dulu?”
“Itu apa Lex?”
“Oh! Ini buku saku saja sengaja aku bawa sebab ada mawar putih darimu yang masih aku simpan”
“Setia. Akupun masih menyimpannya, dilembaran album foto yang aku ambil semasa SMA dulu. Apa kabar Jakarta?”
“Jakarta semakin ramai, dan semakin sepi”

Dahi Lexi menggernyit heran. Alex memaparkan bagaimana kondisi kota Jakarta dewasa ini, juga mengenai “Jakarta Sepi”. Jakarta  Sepi yang Alex maksud adalah gambaran dari hati Alex yang kosong karena baru beberapa bulan ditinggal pergi oleh istrinya, Keandra. Lexi nampak datar, tak ada satu isyaratpun yang menunjukkan bahwa Lexi kecewa karena Alex sudah sempat menikah, atau mungkin malah sebaliknya namun menunjukkan wajah yang pura-pura.

“Sabar yah Lex. Orang sabar selalu dikasih kemudahan sama Tuhan, termasuk masalah jodoh”
“Coba lihat mataku Lex”
“Kenapa Lex??Hallooooo..Alex??kok bengong??”
“Kamu melihat ada jodoh gak di mataku?”
“?????”
“Menara romantis itu saksinya, bahwa sedari kita masih berseragam abu-abu hingga kini kita berubah menjadi apa yang menjadi pilihan kita, satu yang kekal Lex..satu yang aku tidak tahu..dan satu yang selalu menjadi pertanyaanku..”
“.........”
“Satu yang kekal, yaitu perasaan aku sama kamu, meskipun sempat sekali aku pernah menikah dengan orang lain. Satu yang aku tidak pernah tahu sampai detik ini, bagaimana perasaan kamu sama aku dulu dan sekarang. Dan satu yang selalu menjadi pertanyaanku sama kamu, kalau kelak usia kamu sudah siap, mau gak kamu jadi ibu dari anak-anak aku nanti?”

Lexi terdiam kaku, mulutnya terkunci tak berpatah apapun, hanya telingga mendengar, dan mata yang berbicara ada cinta dari mata Lexi, ada bertubi-tubi jawaban yang tersimpan dalam mata Lexi yang tak sempat tercap oleh bibir. Lexi menangis, dan tak lama Alex mengangkat bahu Lexi kemudian saling berhadapan berdiri. Alex mencium kening Lexi lembut dengan durasi entah berapa lama. Selepasnya, Alex kembali melihat wajah Lexi yang masih memejamkan matanya, hingga gerakan tangan Alex menyentuh dagu Lexi kemudian mengangkat perlahan wajah Lexi hingga matanya benar-benar terbuka, mereka saling menatap kembali dan Lexi memeluk Alex seerat-eratnya.

“Tuhan sudah mengatur semuanya Lex. Jodoh itu sehidup semati, bukan satu hidup satu mati. Selama masih ada kesempatan untuk bernafas, selama itulah kita masih berhak mencari jodoh kita sekalipun salah satu dari jodoh kita sudah pernah mengenyam cinta dengan siapa yang sudah tak bernafas lagi. Jodoh itu akan dipertemukan saat waktu berbicara kalau keduanya merasa sudah siap. Jodoh itu..seperti aku dan kamu” 
–Lexi-

SELESAI

CIN-TA


“Udara pagi yang segar..mudah-mudahan sesegar kabar baik yang sedang ditunggu-tunggu”
Pukul enam pagi aku membuka jendela kamar sembari menghirup udara pagi dengan harapan hari itu ia mendapat kabar baik dari Hotel tempat aku mengirimkan lamaran pekerjaan beberapa hari lalu.
Telepon berdering. Pantang menanggapi nomor telepon yang tidak dikenal, namun hati tiba-tiba berbalik niat dan..
“Hallo..”
Terdengar suara wanita dari balik telepon, memberi kabar segar padaku yang masih betah menikmati udara pagi di tepi jendela kamar.
“Pukul 10?baik. Terima kasih Bu.” Tut..tut..tut.
Aku bergegas mandi dan merapikan penampilan layaknya calon staff yang akan melewati proses wawancara pekerjaan. Ya! Memang begitu kenyataannya. Aku melamar pekerjaan sebagai chef de partie di salah satu hotel berbintang yang belum lama berdiri.
Aku berhenti bekerja setelah kurang lebih empat tahun bekerja sebagai commis de partie di hotel bintang empat di negara Dubai. Alasan untuk kembali ke tanah air adalah semata-mata untuk mengurus ibu yang tinggal seorang diri dengan kondisi yang tidak mungkin lagi untuk ditinggal sendirian, hingga akhirnya ibu pergi menyusul ayah ke singgasana dan meninggalkanku yang memang sudah terbiasa hidup mandiri sejak masih duduk dibangku sekolah menengah.
“Pukul 10?baik. Sampai jumpa”
Telepon ditutup. Udara segar rupanya, mendapat kabar baik untuk wawancara pagi ini di hotel. Mudah-mudahan menjadi angin sore yang shahdu untuk dinikmati bersama coklat panas dan cookies sore nanti.


“Mari pak saya antar ke ruangan Bu Imelda. Beliau sudah tunggu bapak.”
Kata seorang security setempat yang sedari datang menemani mengobrol ringan mengenai pengalamanku selama di Dubai.
“Pak Cindian?ah! singkatnya saya panggil apa?”
“Cin. Pak Cin. Cukup bu”
Serangkaian wawancara dalam bentuk lisan, tulisan dan praktikal demo masakpun sudah dijalani satu hari penuh. Rasa optimis selalu ada, selanjutnya biar tangan Tuhan yang bergerak dengan semestinya. Ya! Seminggu sudah menelan coklat panas bersama cookies disore senja sembari menunggu kabar yang akhirnya membuat tersenyum.


Senin. Awal hari yang baik untuk memulai pekerjaan, pagi hari hingga sore hari dan begitu hingga penghujung sabtu tiba lalu menikmati waktu berkualitas dihari minggu. Sungguh jadwal kerja yang sulit didapat untuk dunia perhotelan.
Sehari dua hari, dua minggu sudah menikmati hari sebagai chef de partie. Beruntung kawan sejawat pekerjaan ingin bertukar fikiran dalam soal pekerjaan. Pembawaanku yang santai sedikit pendiam pada orang yang belum aku kenal menjadikan seorang yang banyak diminati oleh staf wanita satu tempat pekerjaannya. Entahlah..mungkin karena terlalu elegan untuk ukuran laki-laki. Tak jarang wanita yang sengaja mencari waktu istirahat yang sama denganku, hanya untuk sekedar melihatku yang sedang menikmati makan siang di employee dining room hotel tersebut. Namun, sedikitpun aku tidak pernah sadar bahwa tak hanya satu dua wanta yang berusaha mencoba menarik perhatianku.


Menurut kawan satu departemen, ada seorang wanita yang diam-diam sering memperhatikanku saat waktu makan siang, namun sayangnya kawanku yang bernama Idan ini tak memberi tahu secara spesifik nama wanita tersebut.
“Yah..kita dikurung di dapur, dia dikurung dibalik meja depan”
Kode menurutku. Idan berkata kita dikurung di dapur itu maksudnya karena kita berada di departemen yang tidak akan pernah lari dari ruangan masak, dan..kode meja depan itu? Ah! Aku 5tahu. Selamat menebak orang, Cindian.
Siang itu menyengaja aku mengajak Idan untuk turun makan siang, dan akan aku perhatikan staf wanita berseragam “meja depan” tersebut, mungkin dia?mungkin siapa bershift petang. Entahlah..hanya menebak.
“Dan..ada gak ‘si meja depan’?yang mana?”
“Haha..ada. Cari aja yah sendiri”
Kode samar-samar kian memudar, aku bisa menebak siapa wanita ‘meja depan’ yang Idan maksud. Ibu Tari rupanya, wanita berseragam front office hanya dia diruangan itu, tapi apa ia dia sering memperhatikanku? Cantik sih, dan nampak dewasa kalau dibanding dengan tampang pria sepertiku yang masih sering dikira 3tahun lebih muda dari usiaku.


Ada orang bilang kalau kita lagi memikirkan seseorang, maka orang tersebut sedang memikirkan kita juga tanpa kita tahu. Dan, entah salah jika aku menebak-nebak kalau Tari sedang memikirkanku hanya lantaran aku sedang iseng terfikir mengenai dia? Ah! Sudah, masih ada esok sabtu untuk memastikan. Syukur-syukur berlanjut malam hari.


Sabtu. Dimana jantung terpacu layaknya sedang marathon padahal tidak. Aku berpapasan dengan ‘si meja depan’ di daun pintu female changing room. Semua terasa berhenti dan aneh, kami berdua berpapasan dan terdiam, tak sempat berkedip sama sekali, hanya mata terus bersanda gurau bisu, hati terus menguncang minta keluar, dan aku rasa diapun seperti itu.
“Hai..”
Suasana cair dengan sendirinya. ‘Si meja depan’ nampak salah tingkah saat aku menyapa singkat merta hangat. Aku berusaha tenang, nampak tidak terjadi apa-apa, padahal lututku kenyataannya lemas dimakan nervous.
“Masuk pagi bu Tari?Sudah sarapan??”
Aku terus bertanya dalam hati, apa maksud aku bertanya seperti itu?Ah! yang jelas aku mulai salah tingkah. Dia cantik sekali kalau lagi salah tingkah.
“Ia pak. Kebetulan belum. Bapak mau masakin buat saya?haha”
Tawa kecil itu..sejuk untuk dinikmati. Aku mengajak dia untuk beranjak dari changing room dan pergi ke’kandang’ kami masing-masing. Semua berlanjut dengan scrable yang aku kirim untuk Tari lewat bantuan waitress. Setelah ku pastikan bahwa scrable itu sudah sampai dengan selamat ditangan Tari, akupun menelepon extention departementnya untuk memastikan sesuatu.
“Dimakan ya bu scrablenya..itu buatan saya. Makan siang bareng ya..saya tunggu ditangga belakang kitchen jam 11.30”


Idan yang belum sempat memberitahu siapa ‘si meja depan’ itu nampak pelik ketika aku memberitahu ia bahwa aku sudah mengetahui siapa ‘si meja depan’ yang diam-diam sering memperhatikan aku itu.
“ Ia Cin..Tari front office. Kok tahu?”
Aku hanya tertawa kecil lantas lanjut memasak sambil terus memperhatikan arah jam yang semakin mendekat pada waktu makan siang.
11.30. Bergegas menyerahkan pekerjaan pada Idan, karena merasa ada janji dengan si penerima scrable tadi pagi. Dia sudah menunggu rupanya, entah sudah berapa lama aku tak peduli yang penting aku tepati sesuai dengan waktu yang aku janjikan via telepon tadi.
“Maaf ya, saya gak duduk sebelah bapak. Saya lebih suka kalau duduk berhadapan”
“Well..Buon apetitto! Selamat menikmati wajah saya kalau begitu”
Berharap ada getaran kecil dihatinya saat aku mengucapkan kalimat seperti itu. Dia nampak duduk manis dimeja tempat kita akan melakukan ritual makan siang, sedang aku mengalasi makanan untukku dan untuk dia sekali. Prosesi makan siang berjalan halus dan santai, tidak ada kasus seperti pagi tadi, kaku.
Scrable yang lucu. Sausnya dibentuk hati dan emotik senyum lebar. Jadi sayang buat makannya”
“Besok-besok akan ada emotik lain, tunggu dan nikmati saja. Besok libur yah?Wanita sih biasanya beres-beres rumah, kan?”
“Gak juga. Setiap hari saya beres-beres rumah. Sering kali hanya diam tepi jendela kalau sedang libur kerja”
“Saya temani boleh?tapi diamnya di tepi jendela kedai pasta?mau?”
“Kalau di kedai pasta, kurang menarik dinikmati siang hari”
“Nanti pulang saya antar ibu yah..saya jemput lagi pukul tujuh malam. Temani saya diam di tepi jendela kedai pasta”
Senyum, tanda setuju. Wanita memang hakikatnya seperti itu (mungkin), malu mengakui apa yang mereka rasakan sejujurnya, berbanding terbalik dengan laki-laki yang sering terang-terangan mengakui sesuatu. Sudahlah..itu manusiawi.


Tidak ada unsur janjian atau kesengajaan, namun pakaian yang kita kenakan malam itu nampak seragam. Putih, elegan dan santai. Kamipun menyempatkan diri untuk mengabadikan dalam bentuk gambar digital.
Fetucinni alfredo membuka perbincangan antara kami berdua, hingga mencair, mencair dan terbukalah sudah semua dugaan Idan selama ini.
“Jangan panggil ibu yah..panggil Tari aja”
“Sepakat. You just call me Cin !”
Usia Tari yang dua tahun lebih tua dariku membuat aku merasakan kalau dia benar-benar nampak dewasa dan keibuan, terlebih lagi pola pikirnya yang sangat dahsyat mengenai pernikahan. Oh..ternyata dia sempat sekali gagal menikah karena alasan yang terlalu privasi. Sudahlah, masa lalu.
Cengkrama itu berakhir pukul sepuluh malam dengan ditutup oleh saling silang nomor ponsel. Cerita berlanjut lewat text sampai penghujung libur bekerja usai.


Terhitung sabtu lalu, hingga hari-hari selanjutnya Tari selalu menerima kiriman scrable ‘lucu’ dengan emotik yang berubah-ubah setiap harinya, emotik yang mewakili isi hati aku terhadap dia hingga terakhir saus itu aku bingkai dengan tulisan “CIN-TA”, yang pembahasannya menjadi bahan diskusi saat waktu makan siang.
“CINdian TAri. Bagus kan?”
“Oh..itu maksudnya..”
Tari tersenyum. Aku bisa membaca raut muka Tari sama percis dengan insiden changing room tempo hari. Sama. Nampak salah tingkah namun berusaha menutupi sedemikian rupa.
“Eh..hidung kamu berdarah Cin..”
Aku seketika panik sendiri, berusaha untuk tetap baik-baik saja tanpa panik. Aku pamit untuk pergi ke toilet sebentar untuk menyelesaikan masalahku dengan darah yang keluar dari hidung sialan ini. Sepuluh menit aku biarkan Tari menunggu tanpa memakan jatah makan siangnya, hanya untuk menunggu aku dan memastikan aku baik-baik saja.
“Maaf ya Tar..lama”
“Kamu gak apa-apa, Cin?”
“Mimisan biasa aja kok sayang..”
Sama sekali aku tak menyadari dengan kata terakhir yang aku ucapkan tadi siang pada Tari. Tahu-tahu malam hari Tari mengundangku ke rumahnya untuk memasakkan makan malam untuk kami berdua.
“Kamu kok tadi siang bilang sayang sih ke aku?”
“Kamu?Aku?sayang?hah?”
“Kok hah?!”
“Kaget aja..kok tiba-tiba gaya bahasa ibu jadi ‘aku,kamu’ dan bahas ‘sayang’ gitu..gak biasanya”
“Gak suka yah?maaf ya..”
Aku genggam tangan Tari erat sembari menatap dalam mata dia yang sedari tadi duduk dihadapanku menunggu aku memulai makan malam.
“Suka kok sayang..”
Aku melihat ada butir-butir cinta tanpa syarat dari dalam mata Tari, entah perasaanku saja atau benar adanya, yang aku ingin untuk saat ini adalah Tari dapat membaca ada cinta dalam mataku.
“You said again..Cin”
“Tell me if you like or dislike if i’m doing like that. I like to do it to you.”
“So do i”
Malam itu kami lupakan agenda makan malam dan menggantinya dengan adegan yang jauh lebih membuat kita menjadi merasa ‘satu’. Hingga mentari bangun memaksa kami untuk kembali pada aktivitas masing-masing.


Hari itu Tari ditegur staf lain yang diam-diam juga menyukaiku. Saat makan siang, Tari menceritakan dan dia sempat berkata ingin mengalah demi teman yang sudah dekat dengannya jauh sebelum aku bergabung diperusahaan dimana kita bekerja.
“Kalo aku sukanya sama kamu gimana, Tar? Setahuku, cinta itu gak bisa maksa loh?gak bisa munafik juga, sekalipun kita berusaha nutup-nutupin”
“Aku suka kamu, Cin”
“Selesai perkara. Diam! Jangan so’ mengalah lagi demi teman ya..”
Kali ini senyum Tari yang nampak jauh lebih lebar dan lepas, terlebih saat aku gandeng tangannya saat pulang bekerja, meninggalkan kendaraan dikantor dan kembali esok hari jalan kaki, lagi. Aku tak tahu pasti siapa wanita yang Tari maksud, satu yang Tari tahu..aku siap pasang badan kalau-kalau sampai terjadi sesuatu yang menimpanya. Cukup gentle bukan?
Sore itu, entah sudah berapa hari dari waktu yang mendeklarasikan kalau kita memiliki hubungan spesial, aku mengajak Tari untuk pergi ke makam ayah ibuku. Bermaksud untuk mengenalkan Tari dihadapan kedua orangtuaku yang sudah almarhum. Selesai aku mengenalkan Tari dihadapan tanah merah kedua orangtuaku, darah yang sempat keluar dari hidungku bangkit lagi dan jatuh menyentuh bunga yang Tari sempat tabur dimakam ibu.
“Sayang, kamu mimisan lagi. Kita pulang aja yah”


Sedari hari itu, hari dimana aku kenalkan Tari pada kedua orangtuaku, intensitas keluarnya darah dari hidungku semakin lama semakin sering terjadi. Tari sempat mengkhawatirkan kondisiku yang semakin memburuk, sempat Tari memaksaku untuk ambil cuti kerja dan istirahat di rumah, bahkan menyuruhku untuk berhenti bekerja, biar dia saja yang mencari uang. Fikirku, aku dan dia siapa?nampak seperti sepasang suami istri namun belum ada ikrar apa-apa.
Sepulang kerja, Tari memutuskan untuk menginap dirumahku takut-takut terjadi hal serupa menimpa saat malam hari, setidaknya Tari bisa menjadi orang pertama yang tahu kondisi aku seperti apa.
“Sayang..kita ke rumah sakit yah..Muka kamu pucat sekali”
“Ngga apa-apa lagi. Kamu itu terlalu khawatir, aku itu cuma sariawan aja..panas dalam, makanya mimisan terus. Aku sehat kok.”
Tari memelukku dari belakang ketika aku sedang bersandar santai di tepi jendela kamar. Adegan istimewa itu terjadi kembali semalaman itu, saksi bisunya kamarku dan foto ayah ibu.


Idan menegurku, dia merasa heran campur senang melihat keintimanku dengan Tari yang semakin hari semakin terlihat sangat dekat nampak satu paket seperti kepalan kedua tangan yang menyatu.
“Jadian yah sama Bu Tari?”
Aku tak menjawab, hanya membalas kode dengan senyuman sumringah. Pagi itu ketika aku sedang membuat scrable untuk Tari, darah nampak lagi dari lubang hidungku, kali ini jauh lebih deras, menderasi pakaian dapurku yang kontras dengan warna darah, putih. Merasa lemas, aku izin pada Idan untuk istirahat sebentar dalam changing room, sampai akhirnya aku tertidur entah pingsan berapa lama aku tak tahu. Sadar-sadar Tari membangunkanku dengan bisikan lembut sembari mencium pipiku mesra.
“Sayang..bangun..”
Aku tersadar, semakin sadar bahwa aku sudah tergolek lemah di bangsal seorang diri. Tampak Tari dengan muka sembab, nampak habis menitikan air mata. Aku tak bisa menebak itu bekas tangisan luka atau bahagia, yang aku tahu Tari berusaha tersenyum saat aku bangun dari tidurku yang entah sudah berapa lama. Aku genggam tangan Tari, lalu dia menciumi tanganku.
“Sayang aku mau kita menikah..secepatnya.”
Dengan perasaan heran campur melayang karna masih mencoba mencomot butir-butir nyawa yang entah dimana mereka berserakan, aku menatap Tari dalam-dalam.
“Kamu yakin, Tar? Tunggu aku pulang dari rumah sakit yah..kita persiapkan semuanya”


Seminggu sudah aku meliburkan diri dari pekerjaan tapi tidak dengan Tari, dia tetap bekerja sebagaimana mestinya manusia yang  masih kuat berjalan. Aku tak pernah faham dengan kondisiku yang semakin lama semakin menurun, tak seperti biasa saat aku masih aktif dan kuat untuk memasak. Yang aku alami sekarang hanya pendarahan dan pendarahan, diam tanpa beraktivitas banyak. Mengenai pekerjaan, Tari sudah menyatakan bahwa aku resign karena masalah kesehatan. Entah, sejak itu Tari seolah-olah sudah menjadi orang yang paling bertanggungjawab atas diriku seutuhnya, pernikahan kamipun sudah ia rancang sedemikian rupa. Sederhana memang namun dapat menikahi Tari itu hal luar biasa yang pernah lakukan seumur hidupku.
“Aku sudah mengurus surat resign kamu. Jadi kamu gak perlu kerja lagi, biar aku yang kerja, kamu istirahat aja dirumah.”
“Tapi kontrak kerjaku dengan Bu Imelda belum selesai kan?”
Tari tak menjawab, dan berpamit pergi bekerja seperti biasanya. Lama berdiam, bosan juga. Aku melakukan gerakan-gerakan ringan di tepi halaman rumah mungkin sekitar tiga puluh menit lalu kembali masuk dan..aku mendapati secercah surat dari rumah sakit. Aku laki-laki, hanya berusaha bersikap biasa dan menerima kalau ternyata aku mengidap leukimia, stadium apalah itu yang membuatku semakin harus bisa menerima, Tari tahu tapi dia diam.
Sore hari Tari pulang, seperti biasa mencium pipiku dan menanyakan kondisi terkini mengenaiku seharian itu.
“Sayang aku hamil..anak kita.”
Rasa kecewa yang sempat aku rasakan saat membaca keterangan mengenai kesehatankupun menjadi hilang ditelan rasa bahagia.
“Secepat itu?”
Aku memeluk Tari erat, meski lemas dan pucat. Aku berusaha membagi kekecewaanku pada Tari mengenai keterangan diagnosa yang sempat aku baca siang tadi. Ternyata inilah alasan Tari menikah denganku, dia ingin merasakan baktinya sebagai seorang istri dari laki-laki yang teramat dia cintai.


Pagi itu, aku melarang Tari untuk pergi bekerja. Hari itu aku ingin menghabiskan waktu bersama dengannya dan calon bayi yang sudah berusia tujuh bulan dalam kandungannya. Semua firasat sudah diatur oleh Yang Maha Kuasa. Tari mulanya merasa aneh karena aku melarangnya pergi bekerja saat itu..
**
Saat itu, suamiku berfirasat akan meninggalkan aku dengan calon bayi yang sedang berpulas tenang dalam perutku. Tak lama setelah suamiku menulis cerita ini dengan penghujung kalimat “aku melarangnya pergi bekerja saat itu..” suamiku meminta untuk tidur dipelukan badanku, dengan memeluk calon bayi kita, tangannya seakan memberi getaran pesan terhadap jabang bayi yang belum mengerti apa-apa, sebelumnya dia berpesan untuk meneruskan cerita yang sedang ia tulis..oh ini rupanya. Akupun ikut pulas tertidur, hingga aku terbangun, namun suamiku tidak pernah ku lihat terbangun lagi.
Hari itu, aku bersama “Cindian” buah cintaku dengan Cindian almarhum suamiku, menjenguk suamiku yang tergeletak samping makam ibunya.
“Sayang..ini Cindian..sekarang dia sudah umur tiga tahun. Nama dan wajahnya mirip sekali denganmu, unsur sengaja untuk aku namakan anak kita sama percis dengan namamu. Aku kangen kamu sayang..Cindian juga.”
Cindian kecil nampak memegang foto ibu dan ayahnya, berpakaian putih seragam. Foto yang diambil saat malam pertama mereka berkencan di kedai pasta waktu itu.
“Tidur yang nyenyak ya ayah..Cindian sayang ayah”
Terima kasih sayang..atas cintamu yang begitu besar sampai akhir hayatmu pergi meninggalkan cinta berwujud manusia, -untuk suamiku di surga- aku sudah selesaikan cerpenmu tentang cerita kita, dulu. Terima kasih telah berbagi cerita kita pada orang lain. Terima kasih kau sudah mengabadikan perasaan kamu yang aku tak pernah tau sebelumnya.
Satu yang abadi dariku..Aku sayang kamu, Cindian. Meski alam memisahkan kita hingga entah kapan”
Selesai.