Selasa, 07 September 2010

ATAS NAMA ALLAH.. *love story pasangan beda keyakinan* PART II

Siang itu aku ada janji bertemu kak Angel untuk mampir ke asrama kampusnya di kawasan Parompong Lembang. Kak Angel adalah mahasiswa keperawatan yang sempat magang di rumah sakit tempatku dirawat beberapa bulan yang lalu. Agama dia nasrani namun toleransi beragamanya kuat sekali. Beberapa kali dia menyuruhku sholat kala kumandang adzan terdengar dari mesjid percis belakang kampusnya.

"Kak..aku gak bawa mukena."
"Sebentar..kakak pinjam ke kamar atas dulu ya..ada teman kakak yang muslim disitu. Kamu tunggu disini saja sama Kak Meiti."

Aku menunggu kak Angel membawakan mukena untukku sholat Dzuhur. Diam aku diranjang kak Angel sambil melihat sekitar ditemani kak Meiti yang sedang asyik menyanyikan lagu Kahitna. Selang sepuluh menit kak Angelpun datang membawakan mukena untukku.

Tiga jam sudah aku bercengkrama bersama kak Angel dan kak Meiti di kamar mereka. Aku mengajak kak Angel untuk mengantarkanku ke gerbang kampus untuk kembali pulang.

Memang dasar senang berbicara, setiap tikungan orang yang dia kenal selalu dia sapa sehingga membuat perjalanan dari asrama ke gerbang pintu depan terasa lama.

"Hai kak..kenalin ini adikku..Ayu namanya. Mau kemana bawa al-kitab?"
"Ke Gereja. Hallo..saya Fred. Fred Adrian Hutagalung. Kok muka kalian beda?katanya adik kakak?"
"Adik-adikan namanya juga. Terang aja beda."

Aku menjabat tangan kak Fred disertai senyum kecil. Entah yang keberapa kali aku berjabat tangan dengan orang-orang didalam kampus ini. Mungkin lebih dari sepuluh karena saking banyaknya orang yang kak Angel sapa.

Lagi-lagi aku harus tersangkut sebelum sampai di gerbang pintu depan. Kali ini aku masuk gereja kampus bersama Kak Fred juga. Sedikit ragu untuk masuk, meski hanya lihat-lihat persiapan mahasiswa setempat menjelang hari valentine yang tinggal menunggu hari dalam hitungan jari, bukan untuk beribadah.

Terdapat sekitar dua puluh orang yang sedang mendekor panggung utama ditambah sepuluh orang yang sedang latihan choir dan satu orang bermain piano sebagai pengiring. Aku memaksa kak Angel untuk bergegas keluar gereja, lantas pergi mengantarku ke gerbang depan, tanpa intermezo kanan-kiri lagi.
***

*beep..beep*
"Dek..kamu dapat salam dari teman kakak.namanya Richard. Richard Putra Simangunsong jurusan akuntansi. Dia dibawah kakak satu tahun."

Pantas saja ada orang yang tiba-tiba kirim SMS ke ponselku mengaku sebagai Richard, teman kak Angel toh.

Aku meraba fikiranku. Mencoba mengingat wajah Richard yang mana. Ia berkata bahwa ia melihatku saat di gereja kemarin. Kita saling melihat namun sekilas. Kata Richard, dia yang sedang bermain piano ketika itu. Aku ingat, namun mukanya masih samar-samar dalam fikiranku.

"Aku rasa kita perlu kopi darat. Kapan dan dimana kamu bisa, Yu?"
"Selepasku pulang PKL ya..di mall yang dekat dengan tempat PKLku. Sampai jumpa, Kak Richard."
(SMS)
***

Hari itu aku bekerja dengan dihantui rasa penasaran. Ingin rasanya delapan jam kerjaku tersulap menjadi satu jam saja. Sehingga tak perlu lama-lama menunggu untuk segera bertemu dengan Richard.

"Kok ngelamun?itu telepon angkat, Yu"

Astaga! Kak Resa mendapatiku melamun. Aku tidak sadar kalau telepon terus berdering dari tadi. Sigap aku bangun dari lamunan dan meraih telepon untuk aku sambungkan ke divisi dalam kantor.

Syukurlah, aku tidak melamun lagi. Pekerjaan bertambah dengan sendirinya sampai-sampai tak sadar kalau aku sudah extance bekerja selama satu jam. Manajer tempat kerjaku menyuruhku menyerahkan semua sisa pekerjaan pada orang yang dapat giliran shift selanjutnya. Ok ! Aku pulang. Ah! tidak..maksudku ini saatnya aku bertemu dengan Richard.

Dag! Dig! Dug! Gemetar seluruh tubuh teman setia jantung yang berjoging ria. Semakin aku teruskan langkah kakiku menuju tempat yang sudah disepakati aku dan Richad sebelumnya, semakin kencang pula jantungku berlari-lari seputaran paru. Baik..aku sudah sampai di tempat yang sudah dijanjikan. Tak ada seorang pria disekitaran. Padahal menurutnya, ia sudah berada di tempat.

"Ayu.."

Seorang pria dengan wewangian yang khas muncul dibelakangku. Ya Tuhan ! tampan sekali Richard. Mukanya seperti Jonathan Liem, imut-imut dihias mata sedikit sipit dan bibir kecil dengan wangi tubuh yang sangat khas (maklum blasteran Medan, Manado, Chinesse).

"Saya Richard. Udah lama nunggu?"
"Baru kok, kak."
"Richard. jangan ada embel-embel 'kak' ya..saya ingin tampak beberapa tahun seumuran denganmu, Yu..hehe"

Kami larut dalam perbincangan selama satu jam sembari menyantap kentang goreng pesananku. Dapat disimpulkan bahwa Richard ini orangnya ramah dan murah senyum. Dua point positive dari pertemuan pertama kami. Good job, boy ! u shake my heart !


"Sudah masuk maghrib. Mau sembahyang, Yu?
"Oh ia..kamu tunggu disini gak apa-apa kan?"

Richard manggut-manggut. Dan akupun permisi sholat sebentar.
Bapak mengirimku pesan lewat ponsel, menanyakan keberadaanku dimana. Hmmm..rupanya Bapak menyuruhku segera pulang.

Hari itu Richard tidak membawa kendaraan, sehingga kami harus naik angkutan kota untuk menuju rumahku. Satu point plus lagi aku dapat dihari pertama kami bertemu.

"Kalau nyebrang..kamu di sebelah kiri. Biar aku yang di kanan."
"Kenapa?"
"Kan kalau umpama tertabrak, aku duluan yang kena..jadi kamu aman."

(Ya Tuhan ! Richard !)

Sesampai gerbang rumah, Richard pamit kembali ke asrama, tidak mampir sekedar mengucap selamat malam pada Bapak dan orang rumah. Dia bilang sih..belum berani.
***

"Wahai belahan jiwaku..
Debetlah cintaku dineraca hatimu.
Kan ku jurnal setiap transaksi rindumu..
hingga setebal laporan keuanganku.
Wahai kekasih hatiku..
Jadikan aku manajer investasi cintamu..
kan ku hedging kasih dan sayangmu,
disetiap lembaran portofolio hatiku.
Bila masa jatuh tempo tlah tiba..
jangan kau retur kenangan indah kita
biarlah ia bersemayam di reksadana asmara..
berkelana diantara aktiva dan passiva..
Wahai mutiara kalbuku..
hanya engkaulah master budget hatiku..
investor cintaku yang syahdu..
general ledgerku yang tak lekang ditelan waktu


                                               -Richard for Ayu-ku-"

Dasar penyair akuntansi. Setiap bait sajaknya menggunakan kata-kata yang sangat familiar ia dengar dan lihat di kelas. Sedang aku dalam ruang kerja hanya dapat tersenyum malu merasa disanjung.

Beberapa hari setelah kami bertemu, rutinitas komunikasi kami semakin lancar dan mendominasi. Layak seperti sepasang kekasih yang selalu laporan setiap apa yang akan, sedang dan sudah dikerjakan. Rasa hatipun ingin memberinya sekeping untuk dijaga.

Richard memberanikan diri untuk mengunjungi rumahku siang hari saat aku libur bekerja. Merasa nyaman saat berada di dekat dia, akupun memutuskan mengambil moment berharga ini dengan proses pengabadian.

"Foto yuk?di handphoneku saja.."

Richard meng-iakan dan kita puas merekam semuanya dalam kedipan-kedipan lensa.

"Ayu..Richard mau bicara.."
"Kenapa??lapar??"
"Bukan. Richard sayang sama Ayu."

Richard mencium pipi kiriku. Lembuuuutt sekali, aku terpejam sejenak, menikmati. Ingin rasanya aku balas bilang bahwa aku juga sangat menyayanginya, tapi aku tak berani. Biar nyali aku susun dulu untuk membalas kata-kata yang ia ucap barusan.

Untung saja..Ibu datangnya setelah moment berharga baru berlalu, hinggap dimakan kaget. Richard tak lama pamit pulang, mungkin malu, mungkin salah tingkah. Yang jelas menggebu dalam hati, ingin sekali aku memeluk dia pertama kalinya. Mencumbu harumnya wewangian tubuh khasnya, lalu ku tempelkan dalam hidungku untuk cadangan obat rasa rindu.
***

Malam hari, Bapak dan Ibu menyidangku. Menanyakan siapa pria yang tadi siang berkunjung menemuiku di ruang tamu.

"Richard namanya, Pak."
"Teman sekolah kamu?"
"Temannya suster Angel. Satu kampus dengannya, tapi bukan keperawatan."
"Teman apa pacar??"
"Teman Pak..temaaann."
"Bapak tidak suka kamu pacaran dengan lain agama apa lagi sampai menikah. DEMI ALLAH bapak tidak ridho! Jinah itu namanya. HARAM, Ayu!"

Aku hanya menjawab diam. Tertunduk menahan ingin menangis, lalu pergi ke kamar untuk melepas semuanya. Melepas rasa kesal, melepas rasa sesal, dan melepas air mata untuk jatuh akhirnya. Ku lihat galery foto dalam ponselku. Gambar yang sempat mengabadikan surga tigapuluh menit hari ini. Sedikit terobati, meski tidak mungkin untuk bisa sembuh.
***

Pagi hari aku minta Bapak untuk antarkanku ke tempat kerja. Sesampainya, Bapak mewanti-wantiku lagi untuk mulai jaga jarak dengan Richard dengan alasan aku takut termakan perasaan pada Richard. Masih mending kalau Richard dapat menjadi "imam", kalau tidak? mungkin aku siap-siap mencangkul ruang untuk mengubur sedalam-dalamnya rasa yang menyesak ini.

"Ayu..marah sama Richard?kok gak pernah balas SMS Richard? ditelepon gak pernah diangkat. Maaf kalau Richard salah sama Ayu. Richard sayang Ayu."

Berkali-kali Richard berkata tak jauh beda dengan kata-kata tersebut, sedang aku?diam dalam stansa elegi diiringi bayang sentuhan bibirnya yang sempat hinggap dipipiku saat itu. Ini caraku menjaga jarak dengan Richard. Benar kata Bapak, aku bisa termakan perasaan jika aku tidak melakukan hal yang tega seperti ini.

"Kali ini tolong angkat teleponku. Aku tidak akan bertanya apa-apa, aku mau kamu dengar sesuatu..begitu selesai, aku tutup sendiri teleponku nanti. Setelah itu tidak lagi."

Aku turuti keinginan Richard untuk menjawab telepon dia. Memang ridak berkata apa-apa, bahkan suaranya berbicarapun aku tidak mendengar. Perlahan not-not senar piano mengalun ditelingaku, sejauh ini hanya lantunan piano, kelamaan ku dengar suara Richard menyusul mengalun syahdu..ia bernyanyi..gemetar seperti setengah menangis. Mengundang air mata untuk jatuh dalam bauran dandananku saat itu.

"Mengapa haruuss..keyakinan..memisah cinta kitaaa..meski cintamu akuuuuu...sesungguhnyaa aku kangen kamuuu..dimana dirimuuu..aku gak ngerti..dengarkanlaahhh..kau tetap terindaahh..meski tak mungkin bersatuu..kau slalu adaaa..dilangkahkuuuuu" -Kahitna-


Hanya itu yang ku dengar dari Richard beserta alunan pianonya. Setelah itu telepon terputus, dan mungkin kami sama-sama menangis setelahnya.

Aku sempat berfikir mengapa Tuhan tak ciptakan keyakinan hanya satu, sehingga tidak ada pemeran opera roman picisan yang merasa dirugikan karenanya.
Beberapa hari Richard menghilang seakan mengerti kondisi kami bagaimana dan harus seperti apa. Rasa rindu mencumbu wangi tubuhnya menjadi semakin aktif, merasa kehilangan sesuatu yang seharusnya tidak diingat.

Berpekan-pekan rasa mengganjal dalam hati, penasaran punya keinginan mencoba menghubunginya..walau hanya tanya kabar, setelah itu sudah. Namun, apa daya nomor ponselnya tidak aktif. Ku tunggu beberapa hari, lalu coba menghubunginya lagi, siapa tahu aku beruntung, namun nihil kembali operator yang menjawab teleponku.

Kali ini aku pasrah, aku dengannya terhalang tralis prinsipil yang tidak bisa ditembus oleh apapun tanpa terkecuali. Aku relakan Richard, daripada aku harus gadaikan agamaku sebagai tumbalnya. Aku yakin, Tuhan pertemukan kita satu dalam surga. Aku yakin, aku tunggu waktu itu. Aku sayang Richard.




Selasai.


-Rianne Rahayu-
Cerpen kedua dibulan September.
070910*

Rabu, 01 September 2010

Latino...

"Rindu suasana taman cemara ini..waktu habis bermain bersama Latino saat kecil dulu..kemana dia sekarang?"

***
 Ku lihat mobil ayah menghampiri mengajakku pulang dari taman cemara itu. Seluruh tema hari itu adalah rindu. Rindu akan kebiasaan ayah bangunkan aku dipagi hari, rindu bunda yang selalu menciumku saat hendak aku akan tidur, rindu taman cemara, dan tentu kamu.. Latino.

Lama rasanya aku mati suri meninggalkan masa lalu. Sepuluh tahun sudah udara segar taman itu tak ku hirup. Tahu-tahu aku sudah termakan waktu menjadi gadis dewasa seperti sekarang.

"Ayah..aku izin pergi ke taman dulu ya.."

*taaaaaaaaaaapppp..*

"Siera..taman ini aku beri nama taman cemara..bagus kan?"
"Kenapa taman cemara??dimana pohon cemaranya??"
"Sejuk Siera..seperti hatiku saat lihat kamu mengejarku mengitari setiap pohon saat main petak umpet."

*tapppppppp...*

"Aku kesepian Latino..jangan bermain petak umpet lagi..kita sudah dewasa sekarang."

Perlahan aku gerakkan kaki pada satu pohon besar tempatku dan Latino berbaring saat rasa lelah datang sehabis bermain. Pohonnya sudah tua, daunnya sudah banyak berevolusi menjadi sampah kering selama sepuluh tahun terakhir ini. Aku baringkan lagi tubuhku di atas sisa-sisa sampah dedaunan kering yang sudah jatuh dan berantakan begitu saja.

*taaaappppp*
"Kalau sudah besar nanti..kamu menikah denganku ya..aku janji akan menikahimu.."

*taaaaappppp*

"Aku mau."
Seperti orang gila berbicara sendiri sambil berbaring. Tapi aku merasa Latino kecil berbicara padaku. Dekat..terasa dekat hingga senja membangunkanku untuk kembali ke rumah. Oh..aku sempat tertidur.

***

Senin. Aku mulai mencari-cari pekerjaan yang cocok denganku. Sehari dua hari terus menunggu panggilan yang tak kunjung datang. Selama itu pula aktifitasku habis untuk berbaring dibawah pohon di taman cemara, tanpa Latino. Sebulan dua bulan ponselku berdering. Salah satu perusahaan akomodasi di Bandung memintaku datang ke kantornya untuk wawancara pekerjaan yang "katanya" cocok dengan latar belakang pendidikanku. Seminggu sudah menunggu kembali jawaban wawancara akupun mendapat jawaban yang tidak mengecewakan. Ayah pernah bilang "mencari pekerjaan dengan usaha sendiri, lebih terasa syukurnya dibanding dititipkan kerja oleh seseorang yang sudah lebih lama di tempat kerja itu".

Baik, terhitung hari ini aku mulai menyibukkan diri di kantor baruku sebagai Sales Excecutive salah satu hotel bintang lima di Bandung. Tak sia-sia ayah mengajakku pindah ke Swiss selama sepuluh tahun. Selain Inggrisku menjadi aktif, sekolah pariwisata terbaikpun sempat aku jamah selama empat tahun. Dan inilah implementasinya.

Tugas pertamaku, mengenal sedikit demi sedikit karyawan yang bekerjasama denganku dalam satu divisi. Ku lihat namanya satu persatu dari bawah. Ari, Devan, Maula, Latino. Latino???? telunjukku mengarah pada posisi jabatan Latino, Sales Excecutive Assistant.

" Maula..saya minta tolong karyawan marketing semuanya ke ruangan saya ya.." tut..tut..tut..(by.phone)

Ku perhatikan raut wajahnya satu persatu. Ku sebutkan namanya untuk meyakinkan.

"Latino yang mana?"
"Sedang sales call, Bu."

***
Nama karyawan itu sama dengan Latino kecil, mungkin itu ia? bagaimana ia sekarang? dimana ia tinggal sekarang? masih ingatkah ia padaku? Ah ! terlalu banyak pertanyaan bersarang di otakku. Besok saja aku buktikan sendiri di kantor.

Malam hari ayah mengajakku dan bunda untuk makan malam di luar. Menikmati perbedaan kota kembang sepuluh tahun lalu dan sekarang. Ramai sama seperti sepuluh tahun lalu, banyak bangunan baru berjejer berdekatan, banyak pula pepohonan yang tumbang oleh mesin pemotong, membuat kesan panas jika matahari sedang beraktifitas.

Mobil berhenti di salah satu rumah makan jepang di kawasan jalan Sumatera Bandung. Ku lihat sosok pria tinggi tampan menggunakan blazer kantoran membawa buku catatan keluar restoran bersama seorang wanita. Tidak ku kenal siapa ia, merasa heran terus melihatku seolah-olah ia yang merasa mengenalku. Aku tak hiraukan ia, dan berjalan menghampiri meja ayah dan bunda untuk memesan makanan.

Sesekali aku melihat ke arah jendela, arah tempat parkir mobil. Siapa pria itu? Aku fikir ia sudah pergi bersama wanita tadi, namun kenyataannya pria itu masih betah melihatku dari kejauhan. Tampak malu aku melihat balik arah ia, iapun mulai beranjak pergi melajukan kemudi mobilnya.

***

Ayah sering bilang, "sebagai atasan usahakan kita datang lebih awal dari bawahan kita, meski kamu tahu itu belum masuk jam kantor. Hitung saja waktu loyalitas sebagai atasan."

Pukul tujuh limabelas aku sudah menempati kursi diruanganku. Disusul oleh Maula dan yang lainnya mulai menempati tempat kerja masing-masing.

tok..tok..tok
"Masuk."

Blasssssssssssssst ! Jantungku berdetak jauh lebih cepat dari biasanya, lututku sedikit gemetar, hatiku kacau, mataku menganga tak berkedip. Dalam hati terus bertasbih.
"ini kan??iniii pria yang semalam"

"Se..se..selamat pagi, Bu. Maaf kemarin saya belum sempat menghadap ibu. Saya sedang sales call."
"Kamu siapa?????"
"Saya Latino, Bu."

Latino menunduk, seolah malu. Aku dapat membaca kata-kata apa yang sedang ia rangkai dalam hatinya. Aku dapat merasakan apa yang ia rasakan kala itu. Dia sama bingungnya denganku bercampur malu karena semalam melihatku dari kejauhan yang kemudian berlalu karena aku balas melihatnya.

"Kamu yang semalam saya lihat kan?"

Suasana hati mencair dengan sendirinya. Mencoba untuk tetap tenang menghadapi pria satu ini. Dia manggut-manggut saat aku bertanya seperti itu.

"Maafkan saya Bu."
"Atas?"
"Semalam saya memperhatikan Ibu dari luar restoran."
"Boleh tahu alasannya?"
"Saya seperti mengenal Ibu, tapi saya lupa dimana."

Blaaaaaaasssstttt ! Hatiku kembali kacau. Pertanyaan bertubi-tubi menyerang secara bersamaan mendengar perkataan Latino.

"Baik..saya sudah tahu kamu sekarang. Silakan kembali ke mejamu sekarang."

Latino menutup pintu ruanganku, hentak sepatunya ku dengar menjauh dari arah pintu ruanganku.
Penyakit hati menyerang kembali hingga sampai di rumah.

***

Dengan pakaian kantor, aku berjalan menuju taman cemara. Aku melihat taman cemara ada yang mengunjungi. Bukan aku, dia laki-laki dan memunggungiku. Sepertinya aku kenal. Ku hampiri ia yang sedang meraba dahan pohon tua besar itu. Ku sentuh pundak kirinya lembut, tapi laki-laki itu tidak merasakan sentuhanku.

"Aku rindu kamu..dimana kamu?aku sudah dewasa sekarang.."

Keningku mengkerut saat pria itu berbicara. Ia jujur seperti tidak ada orang yang sedang memperhatikan ia, suara sampah dedaunan kering tidak cukup membuat ia peka akan kehadiran seseorang rupanya. Aku berbaring biarkan ia sampai waktu menyadarkan bahwa tidak hanya ia yang sedang berada disana. Namun kelamaan, bukannya sadar ia malah ikut berbaring disebelahku, tanpa melihatku disampingnya.

Mataku terpejam melihat langit yang terhalang dahan-dahan pohon besar tepat di bawah tempatku berbaring. Rupanya lelaki itu melihatku.

"Siera..."

Aku diam. Berusaha mengendalikan diri dan menyadari ini hanya mimpi. Perlahan bukan hanya suara panggilan memanggil namaku, tanganku seakan ada yang menggenggam halus. Akupun buka suara tanpa membuka mata.

"Inikah kamu, Latino?Tanganmu tidak seperti anak kecil lagi."
"Aku bawahanmu..Latino yang kini sudah tumbuh dewasa."

Mataku spontan membuka. Bangun dari baringan lalu melihat pria disamping secara nyata.

"Latino????" Setengah tidak percaya dengan apa yang aku lihat. Ia benar-benar Latino. Karyawanku, Latino kecilku.

"Aku sudah dewasa sekarang, Siera.."
"Aku tahu.."
"Aku tidak mengenalmu."
"Tapi aku..masih mengenalmu, Siera.."
"Bagus kalau begitu."
"Aku akan menikah."
"Itu ucapanmu dulu. Kamu ingat?"
"Ya..aku ingat. Terlalu lama aku menunggu..kamu.."
"Aku sendiri.."
"Aku tidak."
"Maaf..aku harus pulang."

Latino menahan tanganku lalu menarikku keras hingga terlempar keras dalam tubuhnya. Aku menangis. Latino memeluk tubuhku hangat, pekat sesekali mencium keningku.

"Aku rindu kamu, Siera.. Pergi tanpa pamit itu tidak baik. Membiarkan anak kecil menunggu hingga dewasa bermain dengan kenangan. Kemana kamu selama ini? Aku kesepian."

"Aku kembali untuk kamu. Untuk bermain lagi di taman cemara seperti dulu. Aku fikir masih bisa, ternyata sudah berpenghuni. Maaf..aku harus pulang."

Latino melepas pelukannya, tidak lantas membiarkanku pergi begitu saja. Ia mencopot cincin yang melingkar di jari manis tangan kirinya itu.

"Lihat ini, Siera ! Aku melempar cincinku ! Silakan kamu cari di semak-semak sampah dedaunan kering temanku bermain menunggumu selama sepuluh tahun ini."

Aku terus membelakangi dia, dan meneruskan langkahku menuju rumah, namun Latino terus berteriak seolah minta aku peluk.

"Kamu tidak mencari cincinnya, Siera ! Itu artinya, masih ada hati untuk aku ! Peduli setan aku tinggalkan tunanganku untuk penuhi janjiku dulu !"

"Tuhan..bangunkan tidurkuuu..ia bukan Latino yang aku cari..tolong Tuhan..bangunkaaaannn..Aku janji tidak akan berkunjung lagi kesini, jika ini akan membuatku selalu mengingat Latino yang entah sekarang berada dimana"

Langkahku semakin menjauh. Tidak ku dengar teriakan Latino lagi. Mungkin dia sedang sibuk mencari cincin yang sempat ia buang tadi. Namun, sergap Latino berlari kencang menghampiriku yang sudah berada di ufuk jalanan.

"Jangan sembunyi lagi, Siera. Aku sudah menemukanmu. Kita tidak sedang bermain petak umpet lagi. Menikah denganku. Kita sama-sama sudah dewasa."
...........
"Jangan diam, Siera. Jawab !"

"Kamu..! Jangan bermain-main dengan tunanganmu. Aku wanita..betapa empatinya aku terhadap tunanganmu. Kamu tetap Latino kecil yang aku kenal. Jangan takut merasa kehilangan. Aku tidak akan sembunyi lagi. Aku tetap akan disini. Tidak untuk bersembunyi lagi"

"Akupun dewasa..lalu menikahlah denganku. Tunanganku mengerti..aku tidak cinta dia. Kami dijodohkan. Aku belum ucap janji nikah dengannya. Masih ada kesempatan untuk berlari menemukan hati yang sebenarnya. Jangan lari lagi. Aku butuh kamu..Siera."

Aku tak bisa menahan air mata yang terus jatuh minta diusap. Aku menyerah..terlalu banyak rindu yang aku simpan selama aku bersembunyi sepuluh tahun terakhir ini. Taman cemara tempat bermain kami semasa kecil. Taman cemara saksi janji menikah kami.. Taman cemara saksi kebahagiaan kami. Taman cemara..disitu aku bangun keluarga kecil bersama ia Latino, suamiku.

By : Rianne Rahayu
010910
(Cerpen pertama, masuk September 2010)