"Kak..aku gak bawa mukena."
"Sebentar..kakak pinjam ke kamar atas dulu ya..ada teman kakak yang muslim disitu. Kamu tunggu disini saja sama Kak Meiti."
Aku menunggu kak Angel membawakan mukena untukku sholat Dzuhur. Diam aku diranjang kak Angel sambil melihat sekitar ditemani kak Meiti yang sedang asyik menyanyikan lagu Kahitna. Selang sepuluh menit kak Angelpun datang membawakan mukena untukku.
Tiga jam sudah aku bercengkrama bersama kak Angel dan kak Meiti di kamar mereka. Aku mengajak kak Angel untuk mengantarkanku ke gerbang kampus untuk kembali pulang.
Memang dasar senang berbicara, setiap tikungan orang yang dia kenal selalu dia sapa sehingga membuat perjalanan dari asrama ke gerbang pintu depan terasa lama.
"Hai kak..kenalin ini adikku..Ayu namanya. Mau kemana bawa al-kitab?"
"Ke Gereja. Hallo..saya Fred. Fred Adrian Hutagalung. Kok muka kalian beda?katanya adik kakak?"
"Adik-adikan namanya juga. Terang aja beda."
Aku menjabat tangan kak Fred disertai senyum kecil. Entah yang keberapa kali aku berjabat tangan dengan orang-orang didalam kampus ini. Mungkin lebih dari sepuluh karena saking banyaknya orang yang kak Angel sapa.
Lagi-lagi aku harus tersangkut sebelum sampai di gerbang pintu depan. Kali ini aku masuk gereja kampus bersama Kak Fred juga. Sedikit ragu untuk masuk, meski hanya lihat-lihat persiapan mahasiswa setempat menjelang hari valentine yang tinggal menunggu hari dalam hitungan jari, bukan untuk beribadah.
Terdapat sekitar dua puluh orang yang sedang mendekor panggung utama ditambah sepuluh orang yang sedang latihan choir dan satu orang bermain piano sebagai pengiring. Aku memaksa kak Angel untuk bergegas keluar gereja, lantas pergi mengantarku ke gerbang depan, tanpa intermezo kanan-kiri lagi.
***
*beep..beep*
"Dek..kamu dapat salam dari teman kakak.namanya Richard. Richard Putra Simangunsong jurusan akuntansi. Dia dibawah kakak satu tahun."
Pantas saja ada orang yang tiba-tiba kirim SMS ke ponselku mengaku sebagai Richard, teman kak Angel toh.
Aku meraba fikiranku. Mencoba mengingat wajah Richard yang mana. Ia berkata bahwa ia melihatku saat di gereja kemarin. Kita saling melihat namun sekilas. Kata Richard, dia yang sedang bermain piano ketika itu. Aku ingat, namun mukanya masih samar-samar dalam fikiranku.
"Aku rasa kita perlu kopi darat. Kapan dan dimana kamu bisa, Yu?"
"Selepasku pulang PKL ya..di mall yang dekat dengan tempat PKLku. Sampai jumpa, Kak Richard."
(SMS)
***
Hari itu aku bekerja dengan dihantui rasa penasaran. Ingin rasanya delapan jam kerjaku tersulap menjadi satu jam saja. Sehingga tak perlu lama-lama menunggu untuk segera bertemu dengan Richard.
"Kok ngelamun?itu telepon angkat, Yu"
Astaga! Kak Resa mendapatiku melamun. Aku tidak sadar kalau telepon terus berdering dari tadi. Sigap aku bangun dari lamunan dan meraih telepon untuk aku sambungkan ke divisi dalam kantor.
Syukurlah, aku tidak melamun lagi. Pekerjaan bertambah dengan sendirinya sampai-sampai tak sadar kalau aku sudah extance bekerja selama satu jam. Manajer tempat kerjaku menyuruhku menyerahkan semua sisa pekerjaan pada orang yang dapat giliran shift selanjutnya. Ok ! Aku pulang. Ah! tidak..maksudku ini saatnya aku bertemu dengan Richard.
Dag! Dig! Dug! Gemetar seluruh tubuh teman setia jantung yang berjoging ria. Semakin aku teruskan langkah kakiku menuju tempat yang sudah disepakati aku dan Richad sebelumnya, semakin kencang pula jantungku berlari-lari seputaran paru. Baik..aku sudah sampai di tempat yang sudah dijanjikan. Tak ada seorang pria disekitaran. Padahal menurutnya, ia sudah berada di tempat.
"Ayu.."
Seorang pria dengan wewangian yang khas muncul dibelakangku. Ya Tuhan ! tampan sekali Richard. Mukanya seperti Jonathan Liem, imut-imut dihias mata sedikit sipit dan bibir kecil dengan wangi tubuh yang sangat khas (maklum blasteran Medan, Manado, Chinesse).
"Saya Richard. Udah lama nunggu?"
"Baru kok, kak."
"Richard. jangan ada embel-embel 'kak' ya..saya ingin tampak beberapa tahun seumuran denganmu, Yu..hehe"
Kami larut dalam perbincangan selama satu jam sembari menyantap kentang goreng pesananku. Dapat disimpulkan bahwa Richard ini orangnya ramah dan murah senyum. Dua point positive dari pertemuan pertama kami. Good job, boy ! u shake my heart !
"Sudah masuk maghrib. Mau sembahyang, Yu?
"Oh ia..kamu tunggu disini gak apa-apa kan?"
Richard manggut-manggut. Dan akupun permisi sholat sebentar.
Bapak mengirimku pesan lewat ponsel, menanyakan keberadaanku dimana. Hmmm..rupanya Bapak menyuruhku segera pulang.
Hari itu Richard tidak membawa kendaraan, sehingga kami harus naik angkutan kota untuk menuju rumahku. Satu point plus lagi aku dapat dihari pertama kami bertemu.
"Kalau nyebrang..kamu di sebelah kiri. Biar aku yang di kanan."
"Kenapa?"
"Kan kalau umpama tertabrak, aku duluan yang kena..jadi kamu aman."
(Ya Tuhan ! Richard !)
Sesampai gerbang rumah, Richard pamit kembali ke asrama, tidak mampir sekedar mengucap selamat malam pada Bapak dan orang rumah. Dia bilang sih..belum berani.
***
"Wahai belahan jiwaku..
Debetlah cintaku dineraca hatimu.
Kan ku jurnal setiap transaksi rindumu..
hingga setebal laporan keuanganku.
Wahai kekasih hatiku..
Jadikan aku manajer investasi cintamu..
kan ku hedging kasih dan sayangmu,
disetiap lembaran portofolio hatiku.
Bila masa jatuh tempo tlah tiba..
jangan kau retur kenangan indah kita
biarlah ia bersemayam di reksadana asmara..
berkelana diantara aktiva dan passiva..
Wahai mutiara kalbuku..
hanya engkaulah master budget hatiku..
investor cintaku yang syahdu..
general ledgerku yang tak lekang ditelan waktu
-Richard for Ayu-ku-"
Dasar penyair akuntansi. Setiap bait sajaknya menggunakan kata-kata yang sangat familiar ia dengar dan lihat di kelas. Sedang aku dalam ruang kerja hanya dapat tersenyum malu merasa disanjung.
Beberapa hari setelah kami bertemu, rutinitas komunikasi kami semakin lancar dan mendominasi. Layak seperti sepasang kekasih yang selalu laporan setiap apa yang akan, sedang dan sudah dikerjakan. Rasa hatipun ingin memberinya sekeping untuk dijaga.
Richard memberanikan diri untuk mengunjungi rumahku siang hari saat aku libur bekerja. Merasa nyaman saat berada di dekat dia, akupun memutuskan mengambil moment berharga ini dengan proses pengabadian.
"Foto yuk?di handphoneku saja.."
Richard meng-iakan dan kita puas merekam semuanya dalam kedipan-kedipan lensa.
"Ayu..Richard mau bicara.."
"Kenapa??lapar??"
"Bukan. Richard sayang sama Ayu."
Richard mencium pipi kiriku. Lembuuuutt sekali, aku terpejam sejenak, menikmati. Ingin rasanya aku balas bilang bahwa aku juga sangat menyayanginya, tapi aku tak berani. Biar nyali aku susun dulu untuk membalas kata-kata yang ia ucap barusan.
Untung saja..Ibu datangnya setelah moment berharga baru berlalu, hinggap dimakan kaget. Richard tak lama pamit pulang, mungkin malu, mungkin salah tingkah. Yang jelas menggebu dalam hati, ingin sekali aku memeluk dia pertama kalinya. Mencumbu harumnya wewangian tubuh khasnya, lalu ku tempelkan dalam hidungku untuk cadangan obat rasa rindu.
***
Malam hari, Bapak dan Ibu menyidangku. Menanyakan siapa pria yang tadi siang berkunjung menemuiku di ruang tamu.
"Richard namanya, Pak."
"Teman sekolah kamu?"
"Temannya suster Angel. Satu kampus dengannya, tapi bukan keperawatan."
"Teman apa pacar??"
"Teman Pak..temaaann."
"Bapak tidak suka kamu pacaran dengan lain agama apa lagi sampai menikah. DEMI ALLAH bapak tidak ridho! Jinah itu namanya. HARAM, Ayu!"
Aku hanya menjawab diam. Tertunduk menahan ingin menangis, lalu pergi ke kamar untuk melepas semuanya. Melepas rasa kesal, melepas rasa sesal, dan melepas air mata untuk jatuh akhirnya. Ku lihat galery foto dalam ponselku. Gambar yang sempat mengabadikan surga tigapuluh menit hari ini. Sedikit terobati, meski tidak mungkin untuk bisa sembuh.
***
Pagi hari aku minta Bapak untuk antarkanku ke tempat kerja. Sesampainya, Bapak mewanti-wantiku lagi untuk mulai jaga jarak dengan Richard dengan alasan aku takut termakan perasaan pada Richard. Masih mending kalau Richard dapat menjadi "imam", kalau tidak? mungkin aku siap-siap mencangkul ruang untuk mengubur sedalam-dalamnya rasa yang menyesak ini.
"Ayu..marah sama Richard?kok gak pernah balas SMS Richard? ditelepon gak pernah diangkat. Maaf kalau Richard salah sama Ayu. Richard sayang Ayu."
Berkali-kali Richard berkata tak jauh beda dengan kata-kata tersebut, sedang aku?diam dalam stansa elegi diiringi bayang sentuhan bibirnya yang sempat hinggap dipipiku saat itu. Ini caraku menjaga jarak dengan Richard. Benar kata Bapak, aku bisa termakan perasaan jika aku tidak melakukan hal yang tega seperti ini.
"Kali ini tolong angkat teleponku. Aku tidak akan bertanya apa-apa, aku mau kamu dengar sesuatu..begitu selesai, aku tutup sendiri teleponku nanti. Setelah itu tidak lagi."
Aku turuti keinginan Richard untuk menjawab telepon dia. Memang ridak berkata apa-apa, bahkan suaranya berbicarapun aku tidak mendengar. Perlahan not-not senar piano mengalun ditelingaku, sejauh ini hanya lantunan piano, kelamaan ku dengar suara Richard menyusul mengalun syahdu..ia bernyanyi..gemetar seperti setengah menangis. Mengundang air mata untuk jatuh dalam bauran dandananku saat itu.
"Mengapa haruuss..keyakinan..memisah cinta kitaaa..meski cintamu akuuuuu...sesungguhnyaa aku kangen kamuuu..dimana dirimuuu..aku gak ngerti..dengarkanlaahhh..kau tetap terindaahh..meski tak mungkin bersatuu..kau slalu adaaa..dilangkahkuuuuu" -Kahitna-
Hanya itu yang ku dengar dari Richard beserta alunan pianonya. Setelah itu telepon terputus, dan mungkin kami sama-sama menangis setelahnya.
Aku sempat berfikir mengapa Tuhan tak ciptakan keyakinan hanya satu, sehingga tidak ada pemeran opera roman picisan yang merasa dirugikan karenanya.
Beberapa hari Richard menghilang seakan mengerti kondisi kami bagaimana dan harus seperti apa. Rasa rindu mencumbu wangi tubuhnya menjadi semakin aktif, merasa kehilangan sesuatu yang seharusnya tidak diingat.
Berpekan-pekan rasa mengganjal dalam hati, penasaran punya keinginan mencoba menghubunginya..walau hanya tanya kabar, setelah itu sudah. Namun, apa daya nomor ponselnya tidak aktif. Ku tunggu beberapa hari, lalu coba menghubunginya lagi, siapa tahu aku beruntung, namun nihil kembali operator yang menjawab teleponku.
Kali ini aku pasrah, aku dengannya terhalang tralis prinsipil yang tidak bisa ditembus oleh apapun tanpa terkecuali. Aku relakan Richard, daripada aku harus gadaikan agamaku sebagai tumbalnya. Aku yakin, Tuhan pertemukan kita satu dalam surga. Aku yakin, aku tunggu waktu itu. Aku sayang Richard.
Selasai.
-Rianne Rahayu-
Cerpen kedua dibulan September.
070910*