Senin, 02 Juli 2012

CIN-TA


“Udara pagi yang segar..mudah-mudahan sesegar kabar baik yang sedang ditunggu-tunggu”
Pukul enam pagi aku membuka jendela kamar sembari menghirup udara pagi dengan harapan hari itu ia mendapat kabar baik dari Hotel tempat aku mengirimkan lamaran pekerjaan beberapa hari lalu.
Telepon berdering. Pantang menanggapi nomor telepon yang tidak dikenal, namun hati tiba-tiba berbalik niat dan..
“Hallo..”
Terdengar suara wanita dari balik telepon, memberi kabar segar padaku yang masih betah menikmati udara pagi di tepi jendela kamar.
“Pukul 10?baik. Terima kasih Bu.” Tut..tut..tut.
Aku bergegas mandi dan merapikan penampilan layaknya calon staff yang akan melewati proses wawancara pekerjaan. Ya! Memang begitu kenyataannya. Aku melamar pekerjaan sebagai chef de partie di salah satu hotel berbintang yang belum lama berdiri.
Aku berhenti bekerja setelah kurang lebih empat tahun bekerja sebagai commis de partie di hotel bintang empat di negara Dubai. Alasan untuk kembali ke tanah air adalah semata-mata untuk mengurus ibu yang tinggal seorang diri dengan kondisi yang tidak mungkin lagi untuk ditinggal sendirian, hingga akhirnya ibu pergi menyusul ayah ke singgasana dan meninggalkanku yang memang sudah terbiasa hidup mandiri sejak masih duduk dibangku sekolah menengah.
“Pukul 10?baik. Sampai jumpa”
Telepon ditutup. Udara segar rupanya, mendapat kabar baik untuk wawancara pagi ini di hotel. Mudah-mudahan menjadi angin sore yang shahdu untuk dinikmati bersama coklat panas dan cookies sore nanti.


“Mari pak saya antar ke ruangan Bu Imelda. Beliau sudah tunggu bapak.”
Kata seorang security setempat yang sedari datang menemani mengobrol ringan mengenai pengalamanku selama di Dubai.
“Pak Cindian?ah! singkatnya saya panggil apa?”
“Cin. Pak Cin. Cukup bu”
Serangkaian wawancara dalam bentuk lisan, tulisan dan praktikal demo masakpun sudah dijalani satu hari penuh. Rasa optimis selalu ada, selanjutnya biar tangan Tuhan yang bergerak dengan semestinya. Ya! Seminggu sudah menelan coklat panas bersama cookies disore senja sembari menunggu kabar yang akhirnya membuat tersenyum.


Senin. Awal hari yang baik untuk memulai pekerjaan, pagi hari hingga sore hari dan begitu hingga penghujung sabtu tiba lalu menikmati waktu berkualitas dihari minggu. Sungguh jadwal kerja yang sulit didapat untuk dunia perhotelan.
Sehari dua hari, dua minggu sudah menikmati hari sebagai chef de partie. Beruntung kawan sejawat pekerjaan ingin bertukar fikiran dalam soal pekerjaan. Pembawaanku yang santai sedikit pendiam pada orang yang belum aku kenal menjadikan seorang yang banyak diminati oleh staf wanita satu tempat pekerjaannya. Entahlah..mungkin karena terlalu elegan untuk ukuran laki-laki. Tak jarang wanita yang sengaja mencari waktu istirahat yang sama denganku, hanya untuk sekedar melihatku yang sedang menikmati makan siang di employee dining room hotel tersebut. Namun, sedikitpun aku tidak pernah sadar bahwa tak hanya satu dua wanta yang berusaha mencoba menarik perhatianku.


Menurut kawan satu departemen, ada seorang wanita yang diam-diam sering memperhatikanku saat waktu makan siang, namun sayangnya kawanku yang bernama Idan ini tak memberi tahu secara spesifik nama wanita tersebut.
“Yah..kita dikurung di dapur, dia dikurung dibalik meja depan”
Kode menurutku. Idan berkata kita dikurung di dapur itu maksudnya karena kita berada di departemen yang tidak akan pernah lari dari ruangan masak, dan..kode meja depan itu? Ah! Aku 5tahu. Selamat menebak orang, Cindian.
Siang itu menyengaja aku mengajak Idan untuk turun makan siang, dan akan aku perhatikan staf wanita berseragam “meja depan” tersebut, mungkin dia?mungkin siapa bershift petang. Entahlah..hanya menebak.
“Dan..ada gak ‘si meja depan’?yang mana?”
“Haha..ada. Cari aja yah sendiri”
Kode samar-samar kian memudar, aku bisa menebak siapa wanita ‘meja depan’ yang Idan maksud. Ibu Tari rupanya, wanita berseragam front office hanya dia diruangan itu, tapi apa ia dia sering memperhatikanku? Cantik sih, dan nampak dewasa kalau dibanding dengan tampang pria sepertiku yang masih sering dikira 3tahun lebih muda dari usiaku.


Ada orang bilang kalau kita lagi memikirkan seseorang, maka orang tersebut sedang memikirkan kita juga tanpa kita tahu. Dan, entah salah jika aku menebak-nebak kalau Tari sedang memikirkanku hanya lantaran aku sedang iseng terfikir mengenai dia? Ah! Sudah, masih ada esok sabtu untuk memastikan. Syukur-syukur berlanjut malam hari.


Sabtu. Dimana jantung terpacu layaknya sedang marathon padahal tidak. Aku berpapasan dengan ‘si meja depan’ di daun pintu female changing room. Semua terasa berhenti dan aneh, kami berdua berpapasan dan terdiam, tak sempat berkedip sama sekali, hanya mata terus bersanda gurau bisu, hati terus menguncang minta keluar, dan aku rasa diapun seperti itu.
“Hai..”
Suasana cair dengan sendirinya. ‘Si meja depan’ nampak salah tingkah saat aku menyapa singkat merta hangat. Aku berusaha tenang, nampak tidak terjadi apa-apa, padahal lututku kenyataannya lemas dimakan nervous.
“Masuk pagi bu Tari?Sudah sarapan??”
Aku terus bertanya dalam hati, apa maksud aku bertanya seperti itu?Ah! yang jelas aku mulai salah tingkah. Dia cantik sekali kalau lagi salah tingkah.
“Ia pak. Kebetulan belum. Bapak mau masakin buat saya?haha”
Tawa kecil itu..sejuk untuk dinikmati. Aku mengajak dia untuk beranjak dari changing room dan pergi ke’kandang’ kami masing-masing. Semua berlanjut dengan scrable yang aku kirim untuk Tari lewat bantuan waitress. Setelah ku pastikan bahwa scrable itu sudah sampai dengan selamat ditangan Tari, akupun menelepon extention departementnya untuk memastikan sesuatu.
“Dimakan ya bu scrablenya..itu buatan saya. Makan siang bareng ya..saya tunggu ditangga belakang kitchen jam 11.30”


Idan yang belum sempat memberitahu siapa ‘si meja depan’ itu nampak pelik ketika aku memberitahu ia bahwa aku sudah mengetahui siapa ‘si meja depan’ yang diam-diam sering memperhatikan aku itu.
“ Ia Cin..Tari front office. Kok tahu?”
Aku hanya tertawa kecil lantas lanjut memasak sambil terus memperhatikan arah jam yang semakin mendekat pada waktu makan siang.
11.30. Bergegas menyerahkan pekerjaan pada Idan, karena merasa ada janji dengan si penerima scrable tadi pagi. Dia sudah menunggu rupanya, entah sudah berapa lama aku tak peduli yang penting aku tepati sesuai dengan waktu yang aku janjikan via telepon tadi.
“Maaf ya, saya gak duduk sebelah bapak. Saya lebih suka kalau duduk berhadapan”
“Well..Buon apetitto! Selamat menikmati wajah saya kalau begitu”
Berharap ada getaran kecil dihatinya saat aku mengucapkan kalimat seperti itu. Dia nampak duduk manis dimeja tempat kita akan melakukan ritual makan siang, sedang aku mengalasi makanan untukku dan untuk dia sekali. Prosesi makan siang berjalan halus dan santai, tidak ada kasus seperti pagi tadi, kaku.
Scrable yang lucu. Sausnya dibentuk hati dan emotik senyum lebar. Jadi sayang buat makannya”
“Besok-besok akan ada emotik lain, tunggu dan nikmati saja. Besok libur yah?Wanita sih biasanya beres-beres rumah, kan?”
“Gak juga. Setiap hari saya beres-beres rumah. Sering kali hanya diam tepi jendela kalau sedang libur kerja”
“Saya temani boleh?tapi diamnya di tepi jendela kedai pasta?mau?”
“Kalau di kedai pasta, kurang menarik dinikmati siang hari”
“Nanti pulang saya antar ibu yah..saya jemput lagi pukul tujuh malam. Temani saya diam di tepi jendela kedai pasta”
Senyum, tanda setuju. Wanita memang hakikatnya seperti itu (mungkin), malu mengakui apa yang mereka rasakan sejujurnya, berbanding terbalik dengan laki-laki yang sering terang-terangan mengakui sesuatu. Sudahlah..itu manusiawi.


Tidak ada unsur janjian atau kesengajaan, namun pakaian yang kita kenakan malam itu nampak seragam. Putih, elegan dan santai. Kamipun menyempatkan diri untuk mengabadikan dalam bentuk gambar digital.
Fetucinni alfredo membuka perbincangan antara kami berdua, hingga mencair, mencair dan terbukalah sudah semua dugaan Idan selama ini.
“Jangan panggil ibu yah..panggil Tari aja”
“Sepakat. You just call me Cin !”
Usia Tari yang dua tahun lebih tua dariku membuat aku merasakan kalau dia benar-benar nampak dewasa dan keibuan, terlebih lagi pola pikirnya yang sangat dahsyat mengenai pernikahan. Oh..ternyata dia sempat sekali gagal menikah karena alasan yang terlalu privasi. Sudahlah, masa lalu.
Cengkrama itu berakhir pukul sepuluh malam dengan ditutup oleh saling silang nomor ponsel. Cerita berlanjut lewat text sampai penghujung libur bekerja usai.


Terhitung sabtu lalu, hingga hari-hari selanjutnya Tari selalu menerima kiriman scrable ‘lucu’ dengan emotik yang berubah-ubah setiap harinya, emotik yang mewakili isi hati aku terhadap dia hingga terakhir saus itu aku bingkai dengan tulisan “CIN-TA”, yang pembahasannya menjadi bahan diskusi saat waktu makan siang.
“CINdian TAri. Bagus kan?”
“Oh..itu maksudnya..”
Tari tersenyum. Aku bisa membaca raut muka Tari sama percis dengan insiden changing room tempo hari. Sama. Nampak salah tingkah namun berusaha menutupi sedemikian rupa.
“Eh..hidung kamu berdarah Cin..”
Aku seketika panik sendiri, berusaha untuk tetap baik-baik saja tanpa panik. Aku pamit untuk pergi ke toilet sebentar untuk menyelesaikan masalahku dengan darah yang keluar dari hidung sialan ini. Sepuluh menit aku biarkan Tari menunggu tanpa memakan jatah makan siangnya, hanya untuk menunggu aku dan memastikan aku baik-baik saja.
“Maaf ya Tar..lama”
“Kamu gak apa-apa, Cin?”
“Mimisan biasa aja kok sayang..”
Sama sekali aku tak menyadari dengan kata terakhir yang aku ucapkan tadi siang pada Tari. Tahu-tahu malam hari Tari mengundangku ke rumahnya untuk memasakkan makan malam untuk kami berdua.
“Kamu kok tadi siang bilang sayang sih ke aku?”
“Kamu?Aku?sayang?hah?”
“Kok hah?!”
“Kaget aja..kok tiba-tiba gaya bahasa ibu jadi ‘aku,kamu’ dan bahas ‘sayang’ gitu..gak biasanya”
“Gak suka yah?maaf ya..”
Aku genggam tangan Tari erat sembari menatap dalam mata dia yang sedari tadi duduk dihadapanku menunggu aku memulai makan malam.
“Suka kok sayang..”
Aku melihat ada butir-butir cinta tanpa syarat dari dalam mata Tari, entah perasaanku saja atau benar adanya, yang aku ingin untuk saat ini adalah Tari dapat membaca ada cinta dalam mataku.
“You said again..Cin”
“Tell me if you like or dislike if i’m doing like that. I like to do it to you.”
“So do i”
Malam itu kami lupakan agenda makan malam dan menggantinya dengan adegan yang jauh lebih membuat kita menjadi merasa ‘satu’. Hingga mentari bangun memaksa kami untuk kembali pada aktivitas masing-masing.


Hari itu Tari ditegur staf lain yang diam-diam juga menyukaiku. Saat makan siang, Tari menceritakan dan dia sempat berkata ingin mengalah demi teman yang sudah dekat dengannya jauh sebelum aku bergabung diperusahaan dimana kita bekerja.
“Kalo aku sukanya sama kamu gimana, Tar? Setahuku, cinta itu gak bisa maksa loh?gak bisa munafik juga, sekalipun kita berusaha nutup-nutupin”
“Aku suka kamu, Cin”
“Selesai perkara. Diam! Jangan so’ mengalah lagi demi teman ya..”
Kali ini senyum Tari yang nampak jauh lebih lebar dan lepas, terlebih saat aku gandeng tangannya saat pulang bekerja, meninggalkan kendaraan dikantor dan kembali esok hari jalan kaki, lagi. Aku tak tahu pasti siapa wanita yang Tari maksud, satu yang Tari tahu..aku siap pasang badan kalau-kalau sampai terjadi sesuatu yang menimpanya. Cukup gentle bukan?
Sore itu, entah sudah berapa hari dari waktu yang mendeklarasikan kalau kita memiliki hubungan spesial, aku mengajak Tari untuk pergi ke makam ayah ibuku. Bermaksud untuk mengenalkan Tari dihadapan kedua orangtuaku yang sudah almarhum. Selesai aku mengenalkan Tari dihadapan tanah merah kedua orangtuaku, darah yang sempat keluar dari hidungku bangkit lagi dan jatuh menyentuh bunga yang Tari sempat tabur dimakam ibu.
“Sayang, kamu mimisan lagi. Kita pulang aja yah”


Sedari hari itu, hari dimana aku kenalkan Tari pada kedua orangtuaku, intensitas keluarnya darah dari hidungku semakin lama semakin sering terjadi. Tari sempat mengkhawatirkan kondisiku yang semakin memburuk, sempat Tari memaksaku untuk ambil cuti kerja dan istirahat di rumah, bahkan menyuruhku untuk berhenti bekerja, biar dia saja yang mencari uang. Fikirku, aku dan dia siapa?nampak seperti sepasang suami istri namun belum ada ikrar apa-apa.
Sepulang kerja, Tari memutuskan untuk menginap dirumahku takut-takut terjadi hal serupa menimpa saat malam hari, setidaknya Tari bisa menjadi orang pertama yang tahu kondisi aku seperti apa.
“Sayang..kita ke rumah sakit yah..Muka kamu pucat sekali”
“Ngga apa-apa lagi. Kamu itu terlalu khawatir, aku itu cuma sariawan aja..panas dalam, makanya mimisan terus. Aku sehat kok.”
Tari memelukku dari belakang ketika aku sedang bersandar santai di tepi jendela kamar. Adegan istimewa itu terjadi kembali semalaman itu, saksi bisunya kamarku dan foto ayah ibu.


Idan menegurku, dia merasa heran campur senang melihat keintimanku dengan Tari yang semakin hari semakin terlihat sangat dekat nampak satu paket seperti kepalan kedua tangan yang menyatu.
“Jadian yah sama Bu Tari?”
Aku tak menjawab, hanya membalas kode dengan senyuman sumringah. Pagi itu ketika aku sedang membuat scrable untuk Tari, darah nampak lagi dari lubang hidungku, kali ini jauh lebih deras, menderasi pakaian dapurku yang kontras dengan warna darah, putih. Merasa lemas, aku izin pada Idan untuk istirahat sebentar dalam changing room, sampai akhirnya aku tertidur entah pingsan berapa lama aku tak tahu. Sadar-sadar Tari membangunkanku dengan bisikan lembut sembari mencium pipiku mesra.
“Sayang..bangun..”
Aku tersadar, semakin sadar bahwa aku sudah tergolek lemah di bangsal seorang diri. Tampak Tari dengan muka sembab, nampak habis menitikan air mata. Aku tak bisa menebak itu bekas tangisan luka atau bahagia, yang aku tahu Tari berusaha tersenyum saat aku bangun dari tidurku yang entah sudah berapa lama. Aku genggam tangan Tari, lalu dia menciumi tanganku.
“Sayang aku mau kita menikah..secepatnya.”
Dengan perasaan heran campur melayang karna masih mencoba mencomot butir-butir nyawa yang entah dimana mereka berserakan, aku menatap Tari dalam-dalam.
“Kamu yakin, Tar? Tunggu aku pulang dari rumah sakit yah..kita persiapkan semuanya”


Seminggu sudah aku meliburkan diri dari pekerjaan tapi tidak dengan Tari, dia tetap bekerja sebagaimana mestinya manusia yang  masih kuat berjalan. Aku tak pernah faham dengan kondisiku yang semakin lama semakin menurun, tak seperti biasa saat aku masih aktif dan kuat untuk memasak. Yang aku alami sekarang hanya pendarahan dan pendarahan, diam tanpa beraktivitas banyak. Mengenai pekerjaan, Tari sudah menyatakan bahwa aku resign karena masalah kesehatan. Entah, sejak itu Tari seolah-olah sudah menjadi orang yang paling bertanggungjawab atas diriku seutuhnya, pernikahan kamipun sudah ia rancang sedemikian rupa. Sederhana memang namun dapat menikahi Tari itu hal luar biasa yang pernah lakukan seumur hidupku.
“Aku sudah mengurus surat resign kamu. Jadi kamu gak perlu kerja lagi, biar aku yang kerja, kamu istirahat aja dirumah.”
“Tapi kontrak kerjaku dengan Bu Imelda belum selesai kan?”
Tari tak menjawab, dan berpamit pergi bekerja seperti biasanya. Lama berdiam, bosan juga. Aku melakukan gerakan-gerakan ringan di tepi halaman rumah mungkin sekitar tiga puluh menit lalu kembali masuk dan..aku mendapati secercah surat dari rumah sakit. Aku laki-laki, hanya berusaha bersikap biasa dan menerima kalau ternyata aku mengidap leukimia, stadium apalah itu yang membuatku semakin harus bisa menerima, Tari tahu tapi dia diam.
Sore hari Tari pulang, seperti biasa mencium pipiku dan menanyakan kondisi terkini mengenaiku seharian itu.
“Sayang aku hamil..anak kita.”
Rasa kecewa yang sempat aku rasakan saat membaca keterangan mengenai kesehatankupun menjadi hilang ditelan rasa bahagia.
“Secepat itu?”
Aku memeluk Tari erat, meski lemas dan pucat. Aku berusaha membagi kekecewaanku pada Tari mengenai keterangan diagnosa yang sempat aku baca siang tadi. Ternyata inilah alasan Tari menikah denganku, dia ingin merasakan baktinya sebagai seorang istri dari laki-laki yang teramat dia cintai.


Pagi itu, aku melarang Tari untuk pergi bekerja. Hari itu aku ingin menghabiskan waktu bersama dengannya dan calon bayi yang sudah berusia tujuh bulan dalam kandungannya. Semua firasat sudah diatur oleh Yang Maha Kuasa. Tari mulanya merasa aneh karena aku melarangnya pergi bekerja saat itu..
**
Saat itu, suamiku berfirasat akan meninggalkan aku dengan calon bayi yang sedang berpulas tenang dalam perutku. Tak lama setelah suamiku menulis cerita ini dengan penghujung kalimat “aku melarangnya pergi bekerja saat itu..” suamiku meminta untuk tidur dipelukan badanku, dengan memeluk calon bayi kita, tangannya seakan memberi getaran pesan terhadap jabang bayi yang belum mengerti apa-apa, sebelumnya dia berpesan untuk meneruskan cerita yang sedang ia tulis..oh ini rupanya. Akupun ikut pulas tertidur, hingga aku terbangun, namun suamiku tidak pernah ku lihat terbangun lagi.
Hari itu, aku bersama “Cindian” buah cintaku dengan Cindian almarhum suamiku, menjenguk suamiku yang tergeletak samping makam ibunya.
“Sayang..ini Cindian..sekarang dia sudah umur tiga tahun. Nama dan wajahnya mirip sekali denganmu, unsur sengaja untuk aku namakan anak kita sama percis dengan namamu. Aku kangen kamu sayang..Cindian juga.”
Cindian kecil nampak memegang foto ibu dan ayahnya, berpakaian putih seragam. Foto yang diambil saat malam pertama mereka berkencan di kedai pasta waktu itu.
“Tidur yang nyenyak ya ayah..Cindian sayang ayah”
Terima kasih sayang..atas cintamu yang begitu besar sampai akhir hayatmu pergi meninggalkan cinta berwujud manusia, -untuk suamiku di surga- aku sudah selesaikan cerpenmu tentang cerita kita, dulu. Terima kasih telah berbagi cerita kita pada orang lain. Terima kasih kau sudah mengabadikan perasaan kamu yang aku tak pernah tau sebelumnya.
Satu yang abadi dariku..Aku sayang kamu, Cindian. Meski alam memisahkan kita hingga entah kapan”
Selesai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar