“Udara pagi yang
segar..mudah-mudahan sesegar kabar baik yang sedang ditunggu-tunggu”
Pukul enam pagi aku membuka
jendela kamar sembari menghirup udara pagi dengan harapan hari itu ia mendapat
kabar baik dari Hotel tempat aku mengirimkan lamaran pekerjaan beberapa hari
lalu.
Telepon berdering. Pantang
menanggapi nomor telepon yang tidak dikenal, namun hati tiba-tiba berbalik niat
dan..
“Hallo..”
Terdengar suara wanita dari balik
telepon, memberi kabar segar padaku yang masih betah menikmati udara pagi di
tepi jendela kamar.
“Pukul 10?baik. Terima kasih Bu.”
Tut..tut..tut.
Aku bergegas mandi dan merapikan
penampilan layaknya calon staff yang akan melewati proses wawancara pekerjaan.
Ya! Memang begitu kenyataannya. Aku melamar pekerjaan sebagai chef de partie di salah satu hotel
berbintang yang belum lama berdiri.
Aku berhenti bekerja setelah
kurang lebih empat tahun bekerja sebagai commis
de partie di hotel bintang empat di negara Dubai. Alasan untuk kembali ke
tanah air adalah semata-mata untuk mengurus ibu yang tinggal seorang diri
dengan kondisi yang tidak mungkin lagi untuk ditinggal sendirian, hingga
akhirnya ibu pergi menyusul ayah ke singgasana dan meninggalkanku yang memang
sudah terbiasa hidup mandiri sejak masih duduk dibangku sekolah menengah.
“Pukul 10?baik. Sampai jumpa”
Telepon
ditutup. Udara segar rupanya, mendapat kabar baik untuk wawancara pagi ini di
hotel. Mudah-mudahan menjadi angin sore yang shahdu untuk dinikmati bersama
coklat panas dan cookies sore nanti.
“Mari pak saya antar ke ruangan
Bu Imelda. Beliau sudah tunggu bapak.”
Kata seorang security setempat yang sedari datang menemani mengobrol ringan
mengenai pengalamanku selama di Dubai.
“Pak Cindian?ah! singkatnya saya
panggil apa?”
“Cin. Pak Cin. Cukup bu”
Serangkaian
wawancara dalam bentuk lisan, tulisan dan praktikal demo masakpun sudah
dijalani satu hari penuh. Rasa optimis selalu ada, selanjutnya biar tangan
Tuhan yang bergerak dengan semestinya. Ya! Seminggu sudah menelan coklat panas
bersama cookies disore senja sembari menunggu kabar yang akhirnya membuat
tersenyum.
Senin. Awal hari yang baik untuk
memulai pekerjaan, pagi hari hingga sore hari dan begitu hingga penghujung
sabtu tiba lalu menikmati waktu berkualitas dihari minggu. Sungguh jadwal kerja
yang sulit didapat untuk dunia perhotelan.
Sehari
dua hari, dua minggu sudah menikmati hari sebagai chef de partie. Beruntung kawan sejawat pekerjaan ingin bertukar
fikiran dalam soal pekerjaan. Pembawaanku yang santai sedikit pendiam pada
orang yang belum aku kenal menjadikan seorang yang banyak diminati oleh staf
wanita satu tempat pekerjaannya. Entahlah..mungkin karena terlalu elegan untuk
ukuran laki-laki. Tak jarang wanita yang sengaja mencari waktu istirahat yang
sama denganku, hanya untuk sekedar melihatku yang sedang menikmati makan siang
di employee dining room hotel
tersebut. Namun, sedikitpun aku tidak pernah sadar bahwa tak hanya satu dua
wanta yang berusaha mencoba menarik perhatianku.
Menurut kawan satu departemen,
ada seorang wanita yang diam-diam sering memperhatikanku saat waktu makan
siang, namun sayangnya kawanku yang bernama Idan ini tak memberi tahu secara
spesifik nama wanita tersebut.
“Yah..kita dikurung di dapur, dia
dikurung dibalik meja depan”
Kode menurutku. Idan berkata kita
dikurung di dapur itu maksudnya karena kita berada di departemen yang tidak
akan pernah lari dari ruangan masak, dan..kode meja depan itu? Ah! Aku 5tahu.
Selamat menebak orang, Cindian.
Siang itu menyengaja aku mengajak
Idan untuk turun makan siang, dan akan aku perhatikan staf wanita berseragam
“meja depan” tersebut, mungkin dia?mungkin siapa bershift petang. Entahlah..hanya menebak.
“Dan..ada gak ‘si meja
depan’?yang mana?”
“Haha..ada. Cari aja yah sendiri”
Kode samar-samar kian memudar,
aku bisa menebak siapa wanita ‘meja depan’ yang Idan maksud. Ibu Tari rupanya, wanita
berseragam front office hanya dia
diruangan itu, tapi apa ia dia sering memperhatikanku? Cantik sih, dan nampak
dewasa kalau dibanding dengan tampang pria sepertiku yang masih sering dikira
3tahun lebih muda dari usiaku.
Ada orang bilang kalau kita
lagi memikirkan seseorang, maka orang tersebut sedang memikirkan kita juga
tanpa kita tahu. Dan, entah salah jika aku menebak-nebak kalau Tari sedang
memikirkanku hanya lantaran aku sedang iseng terfikir mengenai dia? Ah! Sudah,
masih ada esok sabtu untuk memastikan. Syukur-syukur berlanjut malam hari.
Sabtu. Dimana jantung terpacu
layaknya sedang marathon padahal tidak. Aku berpapasan dengan ‘si meja depan’
di daun pintu female changing room.
Semua terasa berhenti dan aneh, kami berdua berpapasan dan terdiam, tak sempat
berkedip sama sekali, hanya mata terus bersanda gurau bisu, hati terus
menguncang minta keluar, dan aku rasa diapun seperti itu.
“Hai..”
Suasana cair dengan sendirinya.
‘Si meja depan’ nampak salah tingkah saat aku menyapa singkat merta hangat. Aku
berusaha tenang, nampak tidak terjadi apa-apa, padahal lututku kenyataannya
lemas dimakan nervous.
“Masuk pagi bu Tari?Sudah
sarapan??”
Aku terus bertanya dalam hati,
apa maksud aku bertanya seperti itu?Ah! yang jelas aku mulai salah tingkah. Dia
cantik sekali kalau lagi salah tingkah.
“Ia pak. Kebetulan belum. Bapak
mau masakin buat saya?haha”
Tawa kecil itu..sejuk untuk
dinikmati. Aku mengajak dia untuk beranjak dari changing room dan pergi ke’kandang’ kami masing-masing. Semua
berlanjut dengan scrable yang aku
kirim untuk Tari lewat bantuan waitress.
Setelah ku pastikan bahwa scrable itu
sudah sampai dengan selamat ditangan Tari, akupun menelepon extention departementnya untuk memastikan
sesuatu.
“Dimakan
ya bu scrablenya..itu buatan saya.
Makan siang bareng ya..saya tunggu ditangga belakang kitchen jam 11.30”
Idan yang belum sempat
memberitahu siapa ‘si meja depan’ itu nampak pelik ketika aku memberitahu ia
bahwa aku sudah mengetahui siapa ‘si meja depan’ yang diam-diam sering
memperhatikan aku itu.
“ Ia Cin..Tari front office. Kok tahu?”
Aku hanya tertawa kecil lantas
lanjut memasak sambil terus memperhatikan arah jam yang semakin mendekat pada
waktu makan siang.
11.30. Bergegas menyerahkan
pekerjaan pada Idan, karena merasa ada janji dengan si penerima scrable tadi pagi. Dia sudah menunggu
rupanya, entah sudah berapa lama aku tak peduli yang penting aku tepati sesuai
dengan waktu yang aku janjikan via telepon tadi.
“Maaf ya, saya gak duduk sebelah
bapak. Saya lebih suka kalau duduk berhadapan”
“Well..Buon apetitto! Selamat
menikmati wajah saya kalau begitu”
Berharap ada getaran kecil
dihatinya saat aku mengucapkan kalimat seperti itu. Dia nampak duduk manis
dimeja tempat kita akan melakukan ritual makan siang, sedang aku mengalasi
makanan untukku dan untuk dia sekali. Prosesi makan siang berjalan halus dan
santai, tidak ada kasus seperti pagi tadi, kaku.
“Scrable yang lucu. Sausnya dibentuk hati dan emotik senyum lebar.
Jadi sayang buat makannya”
“Besok-besok akan ada emotik
lain, tunggu dan nikmati saja. Besok libur yah?Wanita sih biasanya beres-beres
rumah, kan?”
“Gak juga. Setiap hari saya
beres-beres rumah. Sering kali hanya diam tepi jendela kalau sedang libur
kerja”
“Saya temani boleh?tapi diamnya
di tepi jendela kedai pasta?mau?”
“Kalau di kedai pasta, kurang
menarik dinikmati siang hari”
“Nanti pulang saya antar ibu
yah..saya jemput lagi pukul tujuh malam. Temani saya diam di tepi jendela kedai
pasta”
Senyum,
tanda setuju. Wanita memang hakikatnya seperti itu (mungkin), malu mengakui apa
yang mereka rasakan sejujurnya, berbanding terbalik dengan laki-laki yang
sering terang-terangan mengakui sesuatu. Sudahlah..itu manusiawi.
Tidak ada unsur janjian atau
kesengajaan, namun pakaian yang kita kenakan malam itu nampak seragam. Putih,
elegan dan santai. Kamipun menyempatkan diri untuk mengabadikan dalam bentuk
gambar digital.
Fetucinni alfredo membuka
perbincangan antara kami berdua, hingga mencair, mencair dan terbukalah sudah
semua dugaan Idan selama ini.
“Jangan panggil ibu yah..panggil Tari
aja”
“Sepakat. You just call me Cin !”
Usia Tari yang dua tahun lebih
tua dariku membuat aku merasakan kalau dia benar-benar nampak dewasa dan
keibuan, terlebih lagi pola pikirnya yang sangat dahsyat mengenai pernikahan.
Oh..ternyata dia sempat sekali gagal menikah karena alasan yang terlalu
privasi. Sudahlah, masa lalu.
Cengkrama
itu berakhir pukul sepuluh malam dengan ditutup oleh saling silang nomor
ponsel. Cerita berlanjut lewat text sampai penghujung libur bekerja usai.
Terhitung sabtu lalu, hingga
hari-hari selanjutnya Tari selalu menerima kiriman scrable ‘lucu’ dengan emotik yang berubah-ubah setiap harinya,
emotik yang mewakili isi hati aku terhadap dia hingga terakhir saus itu aku
bingkai dengan tulisan “CIN-TA”, yang pembahasannya menjadi bahan diskusi saat
waktu makan siang.
“CINdian TAri. Bagus kan?”
“Oh..itu maksudnya..”
Tari tersenyum. Aku bisa membaca
raut muka Tari sama percis dengan insiden changing
room tempo hari. Sama. Nampak salah tingkah namun berusaha menutupi
sedemikian rupa.
“Eh..hidung kamu berdarah Cin..”
Aku seketika panik sendiri,
berusaha untuk tetap baik-baik saja tanpa panik. Aku pamit untuk pergi ke
toilet sebentar untuk menyelesaikan masalahku dengan darah yang keluar dari
hidung sialan ini. Sepuluh menit aku biarkan Tari menunggu tanpa memakan jatah
makan siangnya, hanya untuk menunggu aku dan memastikan aku baik-baik saja.
“Maaf ya Tar..lama”
“Kamu gak apa-apa, Cin?”
“Mimisan biasa aja kok sayang..”
Sama sekali aku tak menyadari
dengan kata terakhir yang aku ucapkan tadi siang pada Tari. Tahu-tahu malam
hari Tari mengundangku ke rumahnya untuk memasakkan makan malam untuk kami
berdua.
“Kamu kok tadi siang bilang
sayang sih ke aku?”
“Kamu?Aku?sayang?hah?”
“Kok hah?!”
“Kaget aja..kok tiba-tiba gaya
bahasa ibu jadi ‘aku,kamu’ dan bahas ‘sayang’ gitu..gak biasanya”
“Gak suka yah?maaf ya..”
Aku genggam tangan Tari erat
sembari menatap dalam mata dia yang sedari tadi duduk dihadapanku menunggu aku
memulai makan malam.
“Suka kok sayang..”
Aku melihat ada butir-butir cinta
tanpa syarat dari dalam mata Tari, entah perasaanku saja atau benar adanya,
yang aku ingin untuk saat ini adalah Tari dapat membaca ada cinta dalam mataku.
“You said again..Cin”
“Tell me if you like or dislike
if i’m doing like that. I like to do it to you.”
“So do i”
Malam
itu kami lupakan agenda makan malam dan menggantinya dengan adegan yang jauh
lebih membuat kita menjadi merasa ‘satu’. Hingga mentari bangun memaksa kami
untuk kembali pada aktivitas masing-masing.
Hari itu Tari ditegur staf lain
yang diam-diam juga menyukaiku. Saat makan siang, Tari menceritakan dan dia
sempat berkata ingin mengalah demi teman yang sudah dekat dengannya jauh
sebelum aku bergabung diperusahaan dimana kita bekerja.
“Kalo aku sukanya sama kamu
gimana, Tar? Setahuku, cinta itu gak bisa maksa loh?gak bisa munafik juga,
sekalipun kita berusaha nutup-nutupin”
“Aku suka kamu, Cin”
“Selesai perkara. Diam! Jangan
so’ mengalah lagi demi teman ya..”
Kali ini senyum Tari yang nampak
jauh lebih lebar dan lepas, terlebih saat aku gandeng tangannya saat pulang
bekerja, meninggalkan kendaraan dikantor dan kembali esok hari jalan kaki,
lagi. Aku tak tahu pasti siapa wanita yang Tari maksud, satu yang Tari
tahu..aku siap pasang badan kalau-kalau sampai terjadi sesuatu yang menimpanya.
Cukup gentle bukan?
Sore itu, entah sudah berapa hari
dari waktu yang mendeklarasikan kalau kita memiliki hubungan spesial, aku
mengajak Tari untuk pergi ke makam ayah ibuku. Bermaksud untuk mengenalkan Tari
dihadapan kedua orangtuaku yang sudah almarhum. Selesai aku mengenalkan Tari
dihadapan tanah merah kedua orangtuaku, darah yang sempat keluar dari hidungku
bangkit lagi dan jatuh menyentuh bunga yang Tari sempat tabur dimakam ibu.
“Sayang,
kamu mimisan lagi. Kita pulang aja yah”
Sedari hari itu, hari dimana aku
kenalkan Tari pada kedua orangtuaku, intensitas keluarnya darah dari hidungku
semakin lama semakin sering terjadi. Tari sempat mengkhawatirkan kondisiku yang
semakin memburuk, sempat Tari memaksaku untuk ambil cuti kerja dan istirahat di
rumah, bahkan menyuruhku untuk berhenti bekerja, biar dia saja yang mencari
uang. Fikirku, aku dan dia siapa?nampak seperti sepasang suami istri namun
belum ada ikrar apa-apa.
Sepulang kerja, Tari memutuskan
untuk menginap dirumahku takut-takut terjadi hal serupa menimpa saat malam
hari, setidaknya Tari bisa menjadi orang pertama yang tahu kondisi aku seperti
apa.
“Sayang..kita ke rumah sakit
yah..Muka kamu pucat sekali”
“Ngga apa-apa lagi. Kamu itu
terlalu khawatir, aku itu cuma sariawan aja..panas dalam, makanya mimisan
terus. Aku sehat kok.”
Tari
memelukku dari belakang ketika aku sedang bersandar santai di tepi jendela
kamar. Adegan istimewa itu terjadi kembali semalaman itu, saksi bisunya kamarku
dan foto ayah ibu.
Idan menegurku, dia merasa heran
campur senang melihat keintimanku dengan Tari yang semakin hari semakin
terlihat sangat dekat nampak satu paket seperti kepalan kedua tangan yang
menyatu.
“Jadian yah sama Bu Tari?”
Aku tak menjawab, hanya membalas
kode dengan senyuman sumringah. Pagi itu ketika aku sedang membuat scrable untuk Tari, darah nampak lagi
dari lubang hidungku, kali ini jauh lebih deras, menderasi pakaian dapurku yang
kontras dengan warna darah, putih. Merasa lemas, aku izin pada Idan untuk istirahat
sebentar dalam changing room, sampai
akhirnya aku tertidur entah pingsan berapa lama aku tak tahu. Sadar-sadar Tari
membangunkanku dengan bisikan lembut sembari mencium pipiku mesra.
“Sayang..bangun..”
Aku tersadar, semakin sadar bahwa
aku sudah tergolek lemah di bangsal seorang diri. Tampak Tari dengan muka
sembab, nampak habis menitikan air mata. Aku tak bisa menebak itu bekas
tangisan luka atau bahagia, yang aku tahu Tari berusaha tersenyum saat aku
bangun dari tidurku yang entah sudah berapa lama. Aku genggam tangan Tari, lalu
dia menciumi tanganku.
“Sayang aku mau kita
menikah..secepatnya.”
Dengan perasaan heran campur
melayang karna masih mencoba mencomot butir-butir nyawa yang entah dimana
mereka berserakan, aku menatap Tari dalam-dalam.
“Kamu yakin,
Tar? Tunggu aku pulang dari rumah sakit yah..kita persiapkan semuanya”
Seminggu sudah aku meliburkan
diri dari pekerjaan tapi tidak dengan Tari, dia tetap bekerja sebagaimana
mestinya manusia yang masih kuat
berjalan. Aku tak pernah faham dengan kondisiku yang semakin lama semakin
menurun, tak seperti biasa saat aku masih aktif dan kuat untuk memasak. Yang
aku alami sekarang hanya pendarahan dan pendarahan, diam tanpa beraktivitas
banyak. Mengenai pekerjaan, Tari sudah menyatakan bahwa aku resign karena masalah kesehatan. Entah,
sejak itu Tari seolah-olah sudah menjadi orang yang paling bertanggungjawab
atas diriku seutuhnya, pernikahan kamipun sudah ia rancang sedemikian rupa.
Sederhana memang namun dapat menikahi Tari itu hal luar biasa yang pernah
lakukan seumur hidupku.
“Aku sudah mengurus surat resign kamu. Jadi kamu gak perlu kerja
lagi, biar aku yang kerja, kamu istirahat aja dirumah.”
“Tapi kontrak kerjaku dengan Bu
Imelda belum selesai kan?”
Tari tak menjawab, dan berpamit
pergi bekerja seperti biasanya. Lama berdiam, bosan juga. Aku melakukan
gerakan-gerakan ringan di tepi halaman rumah mungkin sekitar tiga puluh menit
lalu kembali masuk dan..aku mendapati secercah surat dari rumah sakit. Aku
laki-laki, hanya berusaha bersikap biasa dan menerima kalau ternyata aku
mengidap leukimia, stadium apalah itu yang membuatku semakin harus bisa
menerima, Tari tahu tapi dia diam.
Sore hari Tari pulang, seperti
biasa mencium pipiku dan menanyakan kondisi terkini mengenaiku seharian itu.
“Sayang aku hamil..anak kita.”
Rasa kecewa yang sempat aku
rasakan saat membaca keterangan mengenai kesehatankupun menjadi hilang ditelan
rasa bahagia.
“Secepat itu?”
Aku
memeluk Tari erat, meski lemas dan pucat. Aku berusaha membagi kekecewaanku
pada Tari mengenai keterangan diagnosa yang sempat aku baca siang tadi.
Ternyata inilah alasan Tari menikah denganku, dia ingin merasakan baktinya
sebagai seorang istri dari laki-laki yang teramat dia cintai.
Pagi itu, aku melarang Tari untuk
pergi bekerja. Hari itu aku ingin menghabiskan waktu bersama dengannya dan
calon bayi yang sudah berusia tujuh bulan dalam kandungannya. Semua firasat
sudah diatur oleh Yang Maha Kuasa. Tari mulanya merasa aneh karena aku
melarangnya pergi bekerja saat itu..
**
Saat itu, suamiku berfirasat akan
meninggalkan aku dengan calon bayi yang sedang berpulas tenang dalam perutku.
Tak lama setelah suamiku menulis cerita ini dengan penghujung kalimat “aku
melarangnya pergi bekerja saat itu..” suamiku meminta untuk tidur dipelukan
badanku, dengan memeluk calon bayi kita, tangannya seakan memberi getaran pesan
terhadap jabang bayi yang belum mengerti apa-apa, sebelumnya dia berpesan untuk
meneruskan cerita yang sedang ia tulis..oh ini rupanya. Akupun ikut pulas
tertidur, hingga aku terbangun, namun suamiku tidak pernah ku lihat terbangun
lagi.
Hari itu, aku bersama “Cindian”
buah cintaku dengan Cindian almarhum suamiku, menjenguk suamiku yang tergeletak
samping makam ibunya.
“Sayang..ini Cindian..sekarang
dia sudah umur tiga tahun. Nama dan wajahnya mirip sekali denganmu, unsur
sengaja untuk aku namakan anak kita sama percis dengan namamu. Aku kangen kamu
sayang..Cindian juga.”
Cindian kecil nampak memegang
foto ibu dan ayahnya, berpakaian putih seragam. Foto yang diambil saat malam
pertama mereka berkencan di kedai pasta waktu itu.
“Tidur yang nyenyak ya
ayah..Cindian sayang ayah”
“Terima kasih sayang..atas cintamu yang begitu besar sampai akhir
hayatmu pergi meninggalkan cinta berwujud manusia, -untuk suamiku di surga- aku
sudah selesaikan cerpenmu tentang cerita kita, dulu. Terima kasih telah berbagi
cerita kita pada orang lain. Terima kasih kau sudah mengabadikan perasaan kamu
yang aku tak pernah tau sebelumnya.
Satu yang abadi dariku..Aku sayang kamu, Cindian. Meski alam memisahkan
kita hingga entah kapan”
Selesai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar